Monday, October 29, 2007

Rasa Sayange

Ribut lagi masalah lagu, setelah kasus Indonesia Raya tiga stanza-nya Roy Suryo. Kali ini dengan pemerintah Malaysia karena mereka memakai lagu Rasa Sayange sebagai jinggle promosi pariwisata mereka. Tapi di sini saya tidak akan memihak salah satu pihak, melainkan melihatnya dari sisi yang agak berbeda.

Kita-kita yang besar di zaman Orde Baru mungkin sudah menerima begitu saja bahwa lagu Rasa Sayange berasal dari Maluku. Dulu, entah kerjaan Orde Lama atau Orde Baru, ada semacam usaha untuk inventarisasi kebudayaan nasional. Kebudayaan dikatalogkan menjadi tarian, lagu, rumah adat, pakaian, dll, dan menjadi milik daerah tertentu. Di zaman saya SD dulu di pelajaran IPS, kita menghafalkan semua itu dan juga diujikan. Apa nama rumah adat Jawa, tari Seudati dari mana, termasuk tentu saja lagu Rasa Sayange dari mana?

Sekilas memang hal di atas tidak problematik. Tetapi tak segamblang itu sebenarnya.

1. Segala macam yang disebut tadi: lagu, pakaian, rumah adat, dll diatributkan ke salah satu propinsi, sehingga pertanyaannya di pelajaran sekolah adalah lagu/tarian/rumah adat anu berasal dari propinsi mana. Budaya, tentu saja, tidak bisa dikaping-kapling menjadi propinsi. Propinsi semata-mata adalah wilayah administratif pemerintahan. Jawa Barat saja (dulu) bukan hanya milik orang Priangan, karena orang Banten dan juga Cirebon (katanya) tidak mau disebut orang Priangan. Begitu pula dengan Sumatra, yang terlihat jelas antara Tapanuli dengan Deli yang sudah lebih dekat ke budaya Melayu. Apalagi budaya melayu yang menyebar di Sumatra dan Kalimantan atau malah lebih luas lagi karena bahasa melayu dipakai sebagai lingua franca di daerah nusantara ini. Intinya, membatasi budaya hanya pada batas propinsi adalah sesuatu yang konyol.

2. Apa batasan antara lagu daerah (folksong) dengan lagu pop dalam bahasa daerah, semacam campur sari-nya Didi Kempot atau Cak Dikin misalnya. Tidak jelas. Memang ada yang bilang kalau lagu daerah itu adalah lagu yang sudah lama sekali menjadi ciri khas satu daerah, dipakai dan dinyanyikan dalam keseharian maupun even-even budaya suatu daerah. Namun ini tidak menutup kemungkinan masuknya lagu pop yang baru diciptakan namun sudah menjadi klasik, sehingga dikategorikan lagu daerah juga. Ini menjadi problematik, karena disaat inventarisasi lagu2 daerah, para penyusunnya juga memasukkan beberapa lagu "pop" daerah menjadi lagu daerah. Salah satunya adalah lagu-lagu pop sunda ciptaan Alm. Sambas Mangundikarta, seperti Manuk Dadali dan Pileuleuyan. Kedua lagu tersebut dimasukkan ke dalam inventaris lagu daerah Jawa Barat. Kalau gitu gimana dengan lagu2nya Doel Sumbang yang juga berbahasa Sunda yang juga tak kalah terkenal. Apa lagi kalau dibandingkan dengan Stasiun Balapan-nya Didi Kempot yang sudah ngetop kemana-mana.

Kembali ke kasus lagu Rasa Sayange. Klaim lagu daerah Maluku seperti menurut inventaris resmi pemerintah Indonesia perlu dicek lagi, mengingat lagu ini memakai bahasa Melayu (meskipun berdialek Maluku). Dan Melayu itu cakupannya luas sekali, meliputi wilayah Indonesia dan juga Malaysia bahkan Madagaskar. Penciptanya bisa saja orang Maluku, tapi klaim lagu daerah Maluku benar-benar perlu dilihat secara lebih arif. Saya sewaktu berkunjung ke Malaysia di tahun 80-an cukup terkejut mendengar lagu Ayo Mama (satu lagi yang juga kita klaim sebagai lagu Maluku) yang ternyata juga populer di sana, di kalangan Melayu dan Cina. Nah, jadi lagunya lagu siapa dong?

Lagipula, sebenarnya folksong itu kan adalah milik rakyat, namanya saja folksong=lagu rakyat. Ia adalah milik rakyat, dimanapun rakyat itu berada. Urusan beginian jadi ribet karena sekarang ada embel-embel hak cipta intelektual. Pada sirik-sirikan ini milik siapa. Milik rakyat. Titik! Alias public domain bahasa kerennya.

Wednesday, October 17, 2007

Pilkada Jawa Barat

Mungkin gelegarnya belum terdengar. Pilkada Jawa Barat akan dilakukan pada April tahun depan. Beberapa calonnya udah ambil ancang-ancang, tebar pesona tempel foto sana sini. Tapi bukan itu yang mau kubahas.

Aku tinggal di Depok, secara administratif masuk Jawa Barat, otomatis ikut Pilkada. Yang membingungkan adalah selaku warga Depok, rasanya lebih terpengaruh oleh kebijakan yang dikeluarkan pemerintah DKI daripada kebijakan Pemda Jawa Barat yang rasanya nun jauh di sana di Bandung tea.
Makanya aku lebih mendukung ide megapolitan Jakarta, meliputi Jabodetabek. Lebih masuk akal saja. Memang, ada perebutan duit di situ. Bekasi, Bogor dan Depok memang kecil, tapi bisa dipastikan memberikan masukan yang tidak kecil ke pundi-pundi Pemda Jawa Barat. Begitu pula Tangerang untuk Pemda Banten.

Tapi coba kita abaikan itu semua, dan melihatnya hanya dari kacamata penduduk di Jabodetabek. Bukankah lebih masuk akal kalau disatukan saja. Gak akan ada lagi joke seperti ini:

1. Bis kecil yang trayeknya Pasar Minggu - Depok yang hanya secuil panjang trayeknya harus menjadi Bis Antarkota Antar Propinsi.

2. Pemakai Flexi Combo gak harus tiap kali pulang pergi Bogor Jakarta mengaktifkan combonya, TIAP HARI! Semua dengan bahagia bisa pakai 021

3. Pemakai kendaraan bermotor Bogor gak harus bersitegang dengan Polres Bogor karena memakai pelat "B".

Dan tentu saja Busway bisa melayani sampai Depok, Bogor, Tangerang dan Bekasi!

Wednesday, October 10, 2007

Zebra cross, binatang apa itu?

Dari SD kita semua sudah tahu apa itu zebra cross. Kita tahu juga apa gunanya. Yaitu sebagai tempat penyeberangan. Apa itu benar?

Kalau mau jujur, kebenaran itu hanya kebenaran sepihak, yaitu kebenaran dari pihak orang yang mau menyeberang. Itu pun masih sering dilanggar, dengan nyeberang sembarangan, tanpa melihat zebra cross.

Mengapa saya katakan sepihak, karena kebenaran ini tidak diakui oleh pihak sebaliknya, yaitu pemakai kendaraan bermotor. Pemakai kendaraan bermotor di Indonesia, tidak melihat zebra cross sebagai tempat orang menyeberang. Mereka hampir tidak pernah (kecuali di Surabaya, mungkin, salut) memperlambat kendaraannya bila melewati zebra cross, melihat dahulu, ada orang yang mau menyeberang atau tidak. Saya setiap hari harus mengeluarkan perhatian ekstra untuk menyeberang di Jalan Margonda Depok yang padat dan laju kendaraannya kencang-kencang.

Kenapa demikian. Mungkin memang salah di pendidikan kita. Yang diajarkan tentang zebra cross adalah para pejalan kaki, melupakan para pengendara. Para pengendara seharusnya adalah yang lebih mematuhi zebra cross, baru pejalan kaki bisa memanfaatkannya dengan baik.

Jadi kesimpulannya, kalau zebra cross tidak dipatuhi, sebenarnya kita cuma ngabis-ngabisin cat putih saja...