Wednesday, November 21, 2007

Iklan Layanan Masyarakat KPI

Pertama-tama, apa itu KPI. KPI adalah Komisi Penyiaran Indonesia. Ia adalah sebuah lembaga negara independen yang dibentuk sebagai pengawasan kegiatan penyiaran. Lengkapnya bisa dilihat di http://www.kpi.go.id

Saya menghargai niat baik dari KPI supaya masyarakat kita mendapatkan tontonan bermutu dengan membatasi tayangan-tayangan yang memperlihatkan kekerasan dan kecabulan. Dan ini disampaikan dengan baik lewat iklan layanan masyarakat (yang kebetulan saya pantau dari radio swasta FM di Jakarta).

Namun di pihak lain ada beberapa hal yang mau saya kritisi:

1. KPI telah mengambil posisi sebagai polisi moral, khususnya menurut agama-agama tertentu. Dengan demikian KPI telah menjadi subordinat dari agama-agama tertentu. Bahwa penayangan acara-acara berunsur kekerasan dan kecabulan harus dibatasi, saya 100% setuju, apalagi oleh TV publik. Tetapi ingat, TV adalah sebuah media hiburan, dan kekerasan dan kecabulan dalam batas2 tertentu dengan niat menghibur tidak bisa dihindari. Jika itu dimatikan secara mutlak, tidak ada lagi unsur hiburan. Nantinya isi acara TV dakwah semua, mau nonton Anda?

Yang patut kita kritik adalah tayangan kekerasan yang tidak bermutu. Siapa coba yang mau ngritik film HEROES, yang tayang baru-baru ini. Jelas ada unsur kekerasan dan seks dalam film seri tersebut. Namun, ia adalah sebuah film yang cerdas, kekerasan tidak dijadikan tujuan melainkan sebagai alat untuk melihat hakekat kemanusiaan yang lebih agung. Begitu pula dengan film BAND OF BROTHERS. Kurang keras apa tuh film. Tetapi muatan kemanusiaannya sangat kental.

Sekali lagi KPI patut berhati-hati dalam memberikan keputusan, jangan hanya pake kacamata kuda untuk mengamini kelompok masyarakat tertentu. Pake pikiran yang lebih jernih dan cerdas.

2. Di dalam iklan layanan masyarakat yang saya dengar di radio, ada satu versi yang menggambarkan ibu2 lagi ngegosip tentang buah hati mereka. Yang satu bilang kalau ada anaknya yang bayi sudah bisa mengucapkan kata pertama, PA-CA-RAN, yang kedua bilang anaknya bisa niruin SUSTER NGESOT, yang ketiga bilang anaknya bisa goyang ngebor, ngecor dan kayang kayak penyanyi dangdut. Kemudian ibu keempat bilang anaknya gak bisa semua itu tapi tahu kalau THOMAS ALVA EDISON itu penemu listrik. Kesan yang diberikan adalah ibu tersebut tidak membiarkan anaknya nonton sinetron dan tayangan gak jelas di TV, yang patut kita puji tentunya. Tapi di pihak lain, juga menyebarkan pandangan picik bahwa anak yang baik adalah anak yang bisa dididik seperti mendidik seekor burung beo: hafal nama mentri, nama planet, tabel perkalian dan lain-lain. Ini juga sama bodohnya dengan suster ngesot dan goyang ngebor.

Asal tau saja, listrik tidak pernah ditemukan. Ia ada di alam dalam bentuk petir misalnya. Kalau mau bawa2 nama Thomas Alva Edison, ia adalah orang yang pertama kali mengkomersialkan bohlam lampu, lewat perusahaannya GE. Ingat! Ia bukan penemu bohlam lampu pertama, sudah ada beberapa orang lain yang membuat prototipe bola lampu, hanya gagal memasarkannya saja. Anak yang pinter membeo gak akan kemana2. Ia tidak akan menjadi seorang pecinta kebenaran, dan menjadi seorang yang utuh. Sungguh kita kekurangan sekali pribadi yang utuh seperti banyak bapak bangsa kita. Dan sayangnya KPI pun rupanya tidak membantu ke arah membuat bangsa ini lebih baik, melainkan hanya membuat kita berpandangan sempit.

Monday, November 19, 2007

Pengalaman Nyari Buku di Gramedia

Baru seminggu yang lalu saya (dengan terpaksa) ke Gramedia untuk mencari sebuah buku untuk textbook kuliah. Saya benernya emang males banget ke Gramed, kecuali untuk beli stationary, karena di sana buku2 tidak disusun dengan kategori yang benar.

Misalnya:
1. Saya pernah melihat buku STRUKTURALISME, yaitu tentang salah satu teori sosiologi diletakkan di rak mekanika struktur teknik sipil. Bayangkan kalau orang yang mau nyari buku itu di rak sosiologi, gak akan nemu!

2. Buku dengan judul LIBIDO, sebuah buku postmodernisme, diletakkan di rak esek-esek, tentang bagaimana mencegah ejakulusi dini, dll. Begitu pula nasib buku TEORI SEKS-nya Sigmund Freud, sebuah buku psikoanalisis.

3. Saya pernah nyari buku Pram di katalog komputer mereka. Gak nemu buku yang diinginkan. Memang ada beberapa buku Pram yang lain, tapi yang saya cari gak ada. Usut punya usut, ternyata di dalam katalog mereka, entry Pramoedya Ananta Toer gak unik satu entry, bisa PRAMOEDYA, PRAMUDYA, PRAMUDIA, PRAMOEDIA, bisa pake TUR, atau TOER, tergantung orang yang ngisi entry pas barangnya masuk. Bisa mabok kan cari buku di sana.

4. Pengalaman saya yang terakhir, minggu yang lalu, nyari buku METAFISIKA sebagai HERMENEUTIKA. Gak nemu di database komputer mereka. Saya nanya ke petugas di Gramed Matraman, ditunjukin ke lt.1 rak FILSAFAT. Gak nemu juga. Saya nyerah, pulang. Teman saya menemukannya di lt.3! LAH, kok di database gak ada. Emang ada 2 rak filsafat di lantai yang berbeda! Bener2 bikin gila nyari buku di Gramed!

Kecuali kalau anda nyari HARRY POTTER, berdoa saja anda bisa menemukan buku yang anda cari di Gramed...

Wednesday, November 14, 2007

85 orang

Tahukah anda kalau penumpang busway dalam satu bis maksimal 85 orang? Iseng aku coba hitung-hitung dari mana angka itu didapat.

Pertama dari jumlah kursi. Kursi belakang ada 5, tengah 16, dan depan 9, total 30. Kemudian pegangan untuk penumpang berdiri ada 55. Total memang 85 penumpang, dengan rincian 30 duduk, 55 berdiri. Pegangan untuk yang berdiri hanya untuk yang di gang tengah, di sekitar pintu tidak diberikan, jadi asumsinya, penumpang tidak diperkenankan berada di dekat pintu.

Masalahnya adalah, pertama, jarak antar pegangan berdiri agak tidak realistis, alias terlalu dekat satu sama lain. Angka realistisnya adalah 40, alias 40 orang berdiri. Yang kedua, penumpang kita nampaknya masih kurang beradab, semua ngumpul di pintu sehingga mempersulit orang masuk atau keluar dari bis. Walhasil, ketidaknyamanan dirasakan semua penumpang, hanya karena keegoisan orang yang tidak mau bergeser, padahal turunnya masih jauh.

Sedikit curhat saja, saya sering ngobrol sesama penumpang yang berdiri di ujung karena tidak mau nyesek di dekat pintu. Obrolan kita selalu di seputar kenapa orang2 selalu numpuk berdesakan di pintu, padahal di ujung lega. Apa mereka kurang kesadaran, egois, atau apa tak tahu lah. Bukankah busway bukan seperti Kopaja yang ngejar setoran yang penumpang belum turun sudah tarik gas. Jadi pasti ditunggu kalau mau turun, tak usah rebutan di dekat pintu. Ini adalah juga sebuah penanda yang baik untuk sebuah diktum:

Di saat orang mau menyerahkan kebebasannya ia malah mendapatkan kebebasannya, di saat ia memaksakan kebebasannya, ia malah kehilangan kebebasannya.

PERDA Anti Pengemis

Sebelumnya silahkan baca dulu artikel dari POS KOTA ini (tumben-tembennya aku baca POS KOTA), dan dari ANTARA

Bagaimana kita menanggapi PERDA anti pengemis dan gepeng?

Persoalannya memang tidak hitam putih. Fakta bahwa banyak pengemis profesional memang tidak bisa dipungkiri. Dan mereka menjadi penyakit masyarakat. PERDA yang mau menangani ini patut kita hargai.

Di lain pihak, apakah pemberian sangsi bagi orang yang memberi kepada pengemis bisa diterima? Bahwa mengemis dilarang, bisa lebih diterima. Tetapi memberi dihukum? Memberi uang kepada siapa pun, termasuk memberi uang kepada perampok, adalah hak setiap manusia. Ini tidak bisa dibatasi oleh undang-undang apa pun.

Sunday, November 4, 2007

Kekerasan lagi di Papua

Baru-baru ini, kekerasan terjadi lagi di Papua, dengan kasus yang agak sepele sebenarnya. Seorang polisi marah-marah dan tidak terima karena anaknya yang mabuk-mabukan ditangkap oleh polisi lainnya. (selengkapnya lihat di sini).

Bukan kasusnya yang mau kutelusuri, tetapi mengapa begitu sering terjadi kekerasan di Papua (dan daerah lain di Indonesia juga sebenarnya. Kasus aliran sesat Al-qiyadah al islamiyah misalnya).

Banyak orang yang menduga bahwa motifnya adalah motif ekonomi. Ketertekanan secara ekonomi membuat orang menjadi lebih beringas. Ini ada benarnya. Negara maju yang secara ekonomi lebih baik, biasanya warganya menjadi lebih tidak beringas. Yang kedua, untuk kasus Papua khususnya, adalah masih merasuknya gaya hidup tribalisme di dalam hidup mereka. Memang mereka telah bersentuhan dengan kehidupan modern, tetapi untuk berpikir dan bertingkah sebagai manusia modern butuh waktu yang panjang. Jangankan orang Papua, orang Jakarta saja masih banyak yang tidak bisa bertingkah laku seperti manusia modern, yang bisa antri, tidak membuang sampah sembarangan, tidak nyerobot jalur busway, dll.

Bangsa kita memang tidak mengalami evolusi menuju modernisasi seperti layaknya sebuah peradaban. Kita mengalami revolusi, maju karena terbawa-bawa. Bangsa kita tidak mengalami revolusi demokrasi, yaitu penumbangan kekuasaan mutlak menuju demokrasi. Bangsa kita juga tidak mengalami renaissance dan aufklarung, yang membawa manusia menjadi berpikir rasional. Begitu pula dengan revolusi industri. Kita tiba-tiba kejatuhan itu semua di hadapan kita pada saat kita merdeka, tanpa proses. Jadilah kita begini adanya sekarang.

Bangsa kita masih perlu berevolusi jadi sebuah bangsa yang modern.