Wednesday, January 23, 2008

STOP Biofuel Kalau Masih Mau Makan Tempe

Biofuel sempat menjadi perbincangan di tahun yang lalu ketika Presiden SBY berniat mengkonversi lahan gambut di Kalimantan untuk perkebunan tanaman yang nantinya akan menghasilkan minyak nabati untuk diolah menjadi biofuel. Waktu itu saya menduga ini hanya angat-angat tai ayam alias ikutan tren (apa sih kebijakan di negeri ini yang gak angat-angat tai ayam, reaktif tanpa perencanaan yang matang?) Dugaan saya terbukti benar karena ternyata 17 perusahaan produsen biofuel sekarang di Indonesia sudah terancam bangkrut!.

Tapi bukan itu yang mau saya bahas. Dari awal para aktivis lingkungan menentang industrialisasi biofuel. Pertama, kebutuhan biofuel dunia akan mengkonversi lahan menjadi tanaman penghasil energi, mengalahkan tanaman penghasil pangan. Ini akan membuat harga pangan naik, dan menyulitkan mereka yang berada di kalangan bawah. Kita sudah merasakan dampaknya. Harga kedelai naik karena adanya kenaikan kebutuhan akan kedelai yang dikonversi menjadi biofuel. Begitu pula dengan kenaikan harga gandum dunia. Di Malaysia mereka sudah mulai menjatah minyak goreng (ternyata mereka juga senasib dengan kita) karena adanya kenaikan permintaan CPO untuk biofuel. Dunia akan kelaparan kalau kita melakukan konversi ke biofuel.

Kedua, seluruh muka bumi ini tidak akan cukup untuk ditanami tanaman penghasil biofuel kalau kita berhenti menggunakan bahan bakar fosil dan menggunakan biofuel 100%. Kita butuh LIMA bumi untuk mencukupi kebutuhan biofuel dengan tingkat penggunaan energi saat ini! Jangan tertipu dengan label bahwa biofuel adalah bahan bakar yang bisa diperbaharui karena dihasilkan dari tanaman, dengan demikian lebih ramah lingkungan. Yang terjadi tidaklah seindah itu. Yang akan terjadi adalah meluasnya penebangan hutan untuk membuat lahan perkebunan tanaman energi.

Bukan hanya itu, tanaman ini juga ikut menghabiskan sumber daya air di dunia yang sudah tipis. Kita akan mengalami krisis air bila perkebunan tanaman biofuel dibuat secara luas!

Ketiga, biofuel bukanlah bahan bakar ajaib bebas polusi seperti yang digembar-gemborkan. Biofuel adalah minyak, dan semua minyak adalah rantai karbon yang kalau dibakar akan menghasilkan CO2, sama persis dengan CO2 yang dikeluarkan oleh pembakaran minyak bumi.

Konversi minyak bumi ke biofuel bukanlah jawaban. Lalu apa yang bisa kita lakukan? Masalahnya adalah di konsumsi energi kita yang sudah berlebihan. Ini ada beberapa tips yang bisa kita lakukan.

1. Sebisa mungkin tidak memiliki kendaraan pribadi. Pakailah kendaraan umum. Kalau pun anda harus memakai kendaraan pribadi, pakailah kendaraan dengan cc kecil (kayak Avanza, Jazz, Yaris), jangan kendaraan 4WD untuk medan berat sekedar untuk berangkat kerja (kayak Landcruiser, Pajero apalagi Hummer). Biasakan nebeng atau ngajakin orang lain supaya kendaraan anda penuh, gak mubazir cuma diisi satu orang (lihat www.nebeng.com)

2. Sebisa mungkin gunakan kereta api dan hindari pesawat. Pesawat adalah kendaraan paling boros bahan bakar, dan langsung mempolusi atmosfer bumi karena ia terbang di atas.

3. Makanlah produk lokal. Jika kita makan produk impor, kita juga menghabiskan energi untuk mengangkutnya ke negara kita. Sudahlah, kita kayaknya udah harus say goodbye sama mie dan roti, karena negara kita tidak menghasilkan gandum. Kita puaskan diri dengan roti tepung beras dan penganan dari singkong dan ubi jalar. Roti dari beras enak juga kok, di India namanya idli.

4. Biofuel sebenarnya tidak jelek kalau kita memanfaatkannya dari limbah atau sekedar mencukupi kebutuhan sendiri dengan tanaman pekarangan pribadi seperti jarak. Minyak jelanta ketimbang dipakai lagi sehingga menjadi penyebab kanker, lebih baik dipakai untuk kendaraan. Pemkot Bogor sudah memanfaatkannya untuk Bis Trans Pakuan. Bila anda memanfaakan pekarangan dan menyuling minyak jarak sekedar untuk keperluan sehari-hari juga tidak berdosa. Yang bermasalah adalah jika kita membuat perkebunan secara ektensif sehingga bersaing dengan tanaman pangan.

Pada intinya hemat energi, sayangi bumi kita.