Sunday, February 22, 2009

Pemilu (3)

Salah satu pertemuan dengan CALEG dari PPP

Baru2 ini aku menghadiri sebuah acara yang dalam "kondisi normal" tidak akan saya hadiri. Mungkin ini juga karena kejadian itu terjadi dalam kesempatan yang "tidak normal". Singkat kata saya hadir dalam pertemuan dengan seorang CALEG DPR-RI dari PPP, DAPIL Jawa Barat VI yang membawahi kora Bekasi dan Depok, dr Syahrizal Syarif. Beliau juga adalah Ketua Badan Pelayanan Kesehatan NU, alias MENTERI KESEHATAN NU. Dalam kondisi normal, saya tidak akan hadir di dalam acara demikian, tapi forum tersebut memang sebuah forum "elite" yang dihadiri kurang dari 20 orang, dan diselenggarakan dalam sebuah format diskusi, yang bukan saja dialogis, tapi akademis. Pertemuan ini diadakan di Cak Tarno Institute, sebuah ajang debat yang kami bentuk di sebuah kios buku milik Cak Tarno, di bilangan UI Depok. Yang hadir di sana adalah dosen berbagai perguruan tinggi termasuk UI dan juga mahasiswa yang sebagian besar mahasiswa S2 atau S3, tapi tidak menutup kemungkinan rakyat jelata juga hadir. Karena forumnya memang forum akademik, yang terjadi bukanlah sebuah kampanye melainkan membedah persoalan bangsa, dalam hal ini adalah masalah kesehatan masyarakat, sesuai dengan bidang dr Syarif. Permasalahannya ternyata sangat pelik dan akan coba saya uraikan secara ringkas.

1. Alokasi dana APBN maupun APBD untuk kesehatan memang sangat kecil, baru mencapai 2.8%, jauh di bawah standar WHO yaitu 15% (angka 15% sebenarnya arbitrer karena, besarnya anggaran kesehatan tentunya tergantung dari berapa APBN total itu sendiri. Biarpun persentasenya kecil, kalau APBN-nya besar, tentunya memadai. Untuk kasus Indonesia, 2.8% memang kecil dan tidak memadai). Ini disebabkan salah satunya karena paradigma pemerintah yang memandang sektor kesehatan sebagai sektor penghabis uang, bukan sebuah sektor untuk investasi SDM masa depan. dr Syahrizal Syarif, tidak macam2 dalam kampanyenya dengan memberikan segepok janji, hanya satu saja, wujudkan 15% anggaran kesehatan. Akibat minimnya anggaran kesehatan, membuat pemerintah memang tidak mampu meng-cover biaya kesehatan.

2. Pembiayaan kesehatan, jika mau ditanggung oleh pemerintah, harus dilakukan dalam skema asuransi kesehatan. Asuransi kesehatan masih problematik di Indonesia, karena pemerintah belum meng-cover seluruh penduduk, baru yang miskin saja, dan itu pun masih problematik. Dalam hal ini memang ada dua mahzab yang bertarung: yang pertama liberal ala Amerika, yang kedua sosial demokrat ala Eropa. Gaya Amerika mengatakan bahwa freedom, berarti free to choose, bebas memilih pengobatan yang ia inginkan. Asumsinya juga adalah persaingan bebas dapat menurunkan biaya pengobatan. Gaya Eropa mengatakan bahwa freedom, berarti free from sickness. Penyelenggaraan kesehatan di take-over oleh negara untuk menjamin itu. Indonesia tidak jelas menganut yang mana.

3. Arus liberalisasi juga merambah dunia kesehatan (yang kita tahu biasanya hanya dalam pendidikan, dengan BHMN). Rumah2 sakit mulai diswastakan. Selama ini pembiayaan rumah sakit pusat dan daerah sebagian besar ditanggung negara, bahkan ada yang sampai 90%. Namun pembiayaan bukan sekedar hanya masalah jumlahnya melainkan juga skemanya. Skemanya adalah begini, pemasukan dari rumah sakit masuk dahulu ke kas negara, kemudian dari kas negara baru dikeluarkan uang untuk pembiayaan rumah sakit. Anggaran pun sering turunnya terlambat dan tidak jelas. Anggaran per tahun bisa turun pada bulan Agustus dan sudah harus diserap sampai akhir tahun anggaran pada bulan Desember! Hanya 4-5 bulan untuk menyerap anggaran? Ribet kan? Hal ini menjadi lebih ribet lagi sejak otonomi daerah dimana rumah sakit menjadi salah satu andalan pemasukan daerah! Parah, sebuah tempat yang semestinya menjadi pelayanan masyarakat menjadi ajang bisnis. Tak aneh kalau biaya kesehatan makin mahal saja.

4. Sementara itu paradigma kesehatan masyarakat sendiri tidak hanya sebatas pengobatan, melainkan termasuk juga pencegahan. Ini belum dipahami oleh sebagian besar pejabat. Jangankan untuk pencegahan, untuk kuratif saja masih keteteran. Sebenarnya pada jaman orde baru pembangunan kesehatan masyarakat lumayan. Di waktu booming minyak 80-an, kelebihan pendapatan negara salah satunya adalah untuk membangun puskesmas. Sayang dari semuanya itu banyak yang sudah tidak operasional baik karena bangunannya sudah rusak atau pun tidak ada dokter. Dokter juga menjadi masalah karena perubahan regulasi. Dulu dokter puskesmas banyak dipenuhi oleh dokter PTT yang bersifat wajib sebelum mendapatkan ijin praktek. Sekarang ketentuan tersebut dicabut, dan menjadi sukarela, di satu pihak karena tekanan dari mahasiswa kedokteran yang males ke daerah dengan alasan HAM (atau apalah), di pihak lain pemerintah memang tidak punya anggaran untuk para dokter PTT ini.

Pusing tidak. Langkah pertama yang cukup feasible untuk diperjuangkan adalah 15% anggaran kesehatan. Di lain pihak adalah juga masalah mekanisme anggaran yang tidak berpihak pada rakyat. Baru kemudian kita bisa bicara universal health care. Mungkin kita masih mimpi untuk bisa sama dengan negara tetangga kita Malaysia, yang kalau berobat jalan bayar 1 ringgit dan rawat inap bayar 3 ringgit, pukul rata untuk semua jenis penyakit!

Tuesday, February 17, 2009

Pemilu (2)

Calon Independen Belum Bisa Maju Pilpress 2009

Akhirnya Mahkamah Konstitusi tidak bisa meluluskan uji materi UU no.42 th.2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan Fadjroer Rahman supaya Presiden bisa maju dari non-partai alias independen. Permohonan ini ditolak dengan skor 5-3, artinya 5 orang menolak, dan 3 orang hakim konstitusi mengajukan dissenting opinion.

Argumen yang dikatakan oleh Mahkamah Konstitusi adalah bahwa Calon Presiden diajukan oleh partai atau gabungan partai sudah jelas dalam UUD 45 dan Amandemen Pasal 6A ayat 2. Dengan demikian MK tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali jika UUD diamandemen terlebih dahulu.

Hal ini memang hal yang pelik. Mau tidak mau harus diakui pasal 6A ayat 2 memang jelas-jelas menyebutkan bahwa pencalonan presiden diajukan oleh partai atau gabungan partai, meskipun ia tidak mengatakan "harus". Tapi di lain pihak ia juga tidak mengatakan kata "dapat" yang tentunya memberikan peluang cara pencalonan lain. Saya pikir sikap MK adalah sebuah sikap yang berhati-hati dan oleh sebab itu saya puji (mengenai sikap MK yang mengulur waktu keputusan untuk calon gubernur independen sehingga Sarwono tidak bisa maju sebagai calon independen gubernur Jakarta, tidak saya puji, ini sebagai catatan).

Sekarang bola berbalik kepada MPR masa mendatang, apakah bisa diharapkan untuk mengadakan amandemen ini. Dari beberapa hasil survei, paling tidak 75% rakyat menginginkan presiden independen.

Kalau MPR-nya tidak memperdulikan suara rakyat? Wah, udah sering tuh. Rakyat gimana yah supaya bisa minta referendum. Saya terus terang gak tau gimana prosedurnya. Bingung deh...

Monday, February 16, 2009

Pemilu (1)

untuk mensukseskan Pemilu, dalam beberapa posting berikut ini akan dipaparkan mengenai pemilu dan permasalahannya, serta wawasan beberapa caleg yang sempat aku ikuti.

Mencoblos sekali, dua kali atau Mencontreng


Pada mulanya keputusan KPU untuk pemilu kali ini adalah mencontreng. Entah mengapa keputusan ini diambil. Mungkin supaya tidak ketinggalan dengan negara lain yang katanya sebagaian besar tidak lagi menggunakan metode mencoblos (ada yang memakai mencontreng, bahkan ada yang lebih maju lagi yaitu secara elektronik). Menurut Yusuf Kala, tinggal Indonesia dan Kamerun yang masih memakai cara mencoblos (lihat Jakarta Post).

Mencontrengnya juga hanya boleh satu kali, bukan dua kali. Yang dimaksud dua kali adalah mencontreng sekali di lambang partai, dan sekali di nama caleg. Namun dari hasil sosialisasi dan ujicoba, masyarakat rupanya sulit untuk memahami ini. Di Jakarta saja, tingkat kesalahannya menurut salah satu studi adalah 24%. Apalagi kalau di daerah.

Untuk itu KPU kemudian mengubah keputusan ini dan membuat mencontreng, sekali atau dua kali, dan mencoblos, satu kali maupun dua kali, adalah sah. Ini keputusan yang melegakan. Dengan demikian kalau rakyat masih mau mencoblos, tentunya masih bisa. Di lain pihak, ini bisa jadi semacam masa transisi sebelum nantinya pemilu selalu dilakukan dengan alat tulis.

Yang mungkin perlu disimak adalah apa pertimbangan pertama kali untuk menghilangkan cara mencoblos. Yang kedua, mengapa hanya mencontreng (bhs inggris: tick) yang diperbolehkan. Bagaimana dengan tanda lain seperti menyilang, atau membulati. Mungkin hal2 seperti ini awalnya tidak terlalu diperhatikan. Untunglah semuanya ini kemudian dianulir. Andai saja dulu dipikirkan matang2 atau diujicobakan dalam skala kecil, tidak perlu ada riuh rendah seperti ini.

Selamat memilih, mau contreng kek, mau coblos, semua halal. Yang haram adalah golput (kata MUI, bukan kata saya).

Wednesday, February 4, 2009

Halal, Haram atau sama saja

Baru-baru ini MUI kembali mengeluarkan fatwa haram. Pertama soal rokok (meskipun haramnya terbatas hanya pada perempuan hamil, anak-anak, di tempat umum, dan untuk para anggota MUI sendiri) dan soal yoga (yang juga terbatas pada yoga yang menggunakan mantra). Tulisan ini tidak akan membahas tentang isi fatwa tersebut melainkan sekedar mau berpusing-pusing tentang halal haram itu sendiri.

Pertama, apakah haram bisa didefisikan secara terbatas, seperti halnya pada rokok dan yoga. Bagaimana kalau haramnya babi juga terbatas, misalnya babi panggang saja. Atau alkohol jenis tertentu saja, misalnya wiski haram tapi bir tidak apa-apa. Atau alkohol haram kalau diminum di siang hari saja.

Bandingkan dengan mencuri misalnya. Mencuri, mau sedikit, mau banyak, mau dilakukan laki-laki, mau dilakukan perempuan, ya haram. Haram berlaku secara universal.
Saya terus terang tidak tahu apakah di dalam fiqih memang ada haram yang sebagian sehingga memang bisa diterapkan secara demikian. Jika ada, saya mau tahu juga bagaimana pertimbangannya.

Kedua, masih ada kaitannya dengan yang pertama. Jika memang dibuat haram terbatas, kenapa tidak dibuat makruh saja, dihindari lebih baik, tapi kalau dilakukan ya tidak berdosa. Ini sekedar usulan saja dalam diskusi, dan saya tidak punya banyak argumen di sini.

Ketiga, apakah halal-haram masih relevan di masa kini. Saya membayangkan bahwa di jaman dulu orang memakai halal haram untuk memajukan atau menghindarkan sesuatu demi kebaikan pribadi maupun masyarakat banyak. Karena sains masih belum banyak berkembang, alasan agama dipakai sebagai pembenaran. Tetapi di saat ini, di saat sains telah berkembang (walaupun masih banyak pertanyaan yang belum bisa dijawab oleh sains), apakah masih diperlukan.
Contoh: apakah kita perlu mengeluarkan fatwa formalin itu haram. Lah semua orang juga tahu kalau makan formalin itu merugikan kesehatan.

Keempat, apakah akal sehat tidak cukup sehingga perlu halal-haram. Misalnya apakah halal atau haram seorang anak mengemudikan trailer. Hal seperti itu bisa diselesaikan dengan akal sehat. (Ini mungkin ada kaitannya dengan haramnya rokok buat anak-anak, yang menurut saya bisa diselesaikan dengan akal sehat, karena orang tua yang punya akal sehat tidak akan mengijinkan anaknya merokok).

Tulisan ini bukanlah tulisan tentang agama, melainkan sekedar berpusing-pusing menggunakan akal sehat saja, selama kita masih punya akal sehat.