Sunday, March 29, 2009

Sedikit Liputan tentang Earth Hour

Earth Hour dapat gaung besar di beberapa belahan dunia. Di Eiffel, seluruh lampunya dimatikan. Begitu pula Golden Gate di San Fransisca. Di Australia pun gelap gulita. Beberapa konser digelar secara unplug diterangi lilin2 kecil. Gaung Earth Hour pun sudah dibicarakan jauh2 hari melalui media TV atau pun radio (koran gak tau, soalnya aku gak langganan).

Di Indonesia kampanye ini disponsori oleh SHARP, dan SHARP mematikan semua display iklan mereka sepanjang Earth Hour dan mengajak semua mitra bisnis mereka untuk ikut mematikan lampu. Sesuatu yang patut diacungi jempol. Tapi bagaimana yang terjadi.

Aku dan istriku sudah penasaran melihat apa yang akan terjadi pada hari Sabtu 28 Maret 2009, jam 8.30-9.30 malam. Beberapa teman kami sudah meng-sms bahwa nanti akan ada pemadaman lampu oleh PLN selama satu jam. Kami (karena memang sengaja gak punya TV) memantau countdown-nya lewat Green Radio 89.2FM, sebuah radio yang memang khusus bertemakan lingkungan. Begitu jamnya lampu kami matikan, dan aku keluar melihat ke tetangga2 kami. Memang tidak banyak sih. Tapi di sepanjang 50 meter pertama gang rumah kami, paling tidak ada lima rumah yang mematikan lampu. Aku memang tidak menelusuri seluruh gang, karena memang cukup panjang. Lumayan lah, dari pada tidak sama sekali. Aku sempat melihat2 agak lama sekedar ingin memastikan mereka mematikan lampu karena memang sudah tidur atau memang sengaja mematikan lampu. Ternyata di dalam rumah memang ada orangnya. Ya, mereka memang sengaja mematikan lampu!

Aku memantau dari beberapa radio tentang perayaan Earth Hour ini. Perayaannya dipusatkan di sebuah kafe di Kemang. Aku lupa nama kafenya. Di situ hadir semua bintang iklan Earth Hour, termasuk Sandra Dewi tentunya. Jadi nyesel gak tau duluan, kalau tau mungkin aku ikutan ke sana. Ada juga yang melaporkan beberapa orang dengan kamera besar2 menunggu momen ini di Bundaran HI untuk menangkap momen ini. Mereka kecele, karena lewat jam 8.30, Bundaran HI masih terang benderang.

Ternyata perayaan ini masih belum sukses. Pihak PLN sendiri masih simpang siur. Sempat rupanya keluar surat edaran untuk memadamkan listrik dari pukul 8.30-9.30. Tapi pada akhirnya ternyata memang tidak dipadamkan. Di Australia sendiri, pemadaman memang dilakukan secara terpusat. Dan momen itu memang sangat menarik, apalagi kalau dilihat dari ketinggian, bagaiman bagian kota satu demi satu menjadi gelap. Bintang pun langsung terlihat karena tidak adanya cahaya lampu. Momen inilah yang menarik. Sayangnya ini belum bisa dilaksanakan di Indonesia. Mungkin tahun depan...

Thursday, March 26, 2009

Pemilu (5)

Memilih adalah hak, bukan kewajiban

Argumen ini bukan untuk membela golput, melainkan membela hak untuk berpolitik. Memilih adalah hak politik, yang merupakan salah satu, BUKAN SATU-SATUNYA hak politik. Hak lainnya adalah hak untuk dipilih, hak untuk berorganisasi dan berkumpul dan juga hak mengeluarkan pendapat.

Tidak memilih tidak selalu berarti apatisme, melainkan bisa berarti sebuah suara yang harus didengarkan, SEBUAH PROTES. Bisa jadi mereka tidak puas terhadap sistem (seperti aku), atau tidak puas dengan calon yang dijajakan (termasuk aku juga). Karena golput bisa menjadi sebuah protes, suarakanlah protes anda. Katakan dengan tegas, kenapa anda TIDAK MEMILIH.

Hal yang paling sering dilupakan orang adalah seolah-olah, hak memilih adalah SATU-SATUNYA hak politik. Argumennya adalah kalau tidak lewat pemilu, bagaimana cara kita mengubah nasib bangsa kita. Memang, secara langsung itulah cara mengubah nasib bangsa secara legal formal. Namun dengan kondisi negara amburadul seperti ini, di saat rakyat sebagian besar tidak rasional untuk memilih, jalan lain bisa ditempuh. Maksud saya disini bukanlah mengadakan kudeta atau revolusi untuk mengubah nasib bangsa. Melainkan mendidik rakyat supaya melek politik dan hak-haknya sebagai warga negara. Jika kita memilih, itu berarti hanya menyumbangkan SATU SUARA. Tapi kalau anda memakai hak politik anda untuk bersuara, bisa mempengaruhi dua, tiga, sepuluh, seratus bahkan sejuta suara. Yang bisa menulis, menulislah. Yang bisa berkoar, berkoarlah. Yang bisa berbuat, berbuatlah (tapi jangan tiru yang hidup adalah perbuatan ya... :p )

Nasib bangsa kita memang tergantung dari kita. Tapi ini bukan berarti memilih adalah satu-satunya cara. Memilih calon yang kita inginkan adalah cara paling langsung dalam demokrasi prosedura. Tapi masih banyak cara lain yang bisa kita lakukan.

Sunday, March 22, 2009

Pemilu (4)

Mencari emas di antara timbal

Kalau dulu kita slogannya adalah memilih kucing dalam karung, karena kita tidak tahu caleg mana yang akan mewakili kita di parlemen karena semua ditentukan oleh partai, maka sekarang adalah mencari emas di antara timbal, karena saking banyaknya pilihan. Sebagai gambaran saja, ada paling tidak 11ribu kandidat DPR RI yang bersaing untuk 688 kursi. Ini sama dengan kurang lebih 1:15.

Ambil contoh saya yang tinggal di daerah Jakarta Timur (DKI 1), saya, untuk calon DPR RI, harus memilih satu di antara 44 partai, atau satu di antara 170 calon! Walah! Apa ini bukan memilih emas di antara timbal. Atau malah memilih timbal yang sedikit berkilau dibandingkan dengan timbal butek lainnya! Ini belum termasuk DPRD DKI dan DPD dari Jakarta. Bayangkan lagi kalau anda tinggal di daerah yang harus memilih DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten. Apakah kita bisa diharapkan dengan sadar memilih wakil kita?

Bagaimana kondisinya kalau kita di negara mbahnya demokrasi, katakanlah Paman Sam. Untuk memilih calon Senat atau Kongres, tiap partai mengirimkan paling banyak 2 calon. Kemudian kemungkinan ada calon dari partai2 kecil seperti Partai Libertarian atau Partai Hijau. Total general kurang dari 10 calon yang muncul di dalam pemilihan. Kalau begini masih ada kemungkinan kita mempertimbangkan mana yang kita pilih tentu saja.

Kondisi real-nya mungkin tidak seburuk yang saya gambarkan di atas. Contoh di daerah asal saya Propinsi Bangka Belitung, praktis yang bertarung adalah dua atau tiga calon saja. Yang lain hanya jadi penggembira. Dua tiga calon yang bertarung umumnya adalah tokoh masyarakat yang sudah dikenal baik track record-nya oleh masyarakat, contohnya caleg DPR RI dari Golkar, mantan Bupati Belitung Timur, Basuki Tjahaya Purnama (Ahok). Masyarakat di sana kalau ditanya mau milih siapa, banyak yang dengan yakin menjawab milih Ahok. (Sekedar tambahan informasi, Ahok adalah seorang Cina, non-Muslim (Kristen Protestan. Bayangkan ia bisa begitu populer di kalangan masyarakat yang mayoritas Melayu dan Muslim. Mungkin ini bisa disetarakan dengan Obama. Mungkin masyarakat Belitung sudah lebih dewasa dalam berdemokrasi ketimbang belahan Indonesia lain).

Tapi kalau di daerah Anda kebetulan tidak ada tokoh yang menonjol, ya pilihnya cap cip cup saja. Mungkin anda milih mantan pejabat atau malah artis. Bayangkan rakyat kita yang akses informasinya masih kurang, siapa yang akan mereka pilih. Saya saja yang punya akses internet broadband kesulitan milih caleg.

Sunday, March 15, 2009

Program Pak Alex, Berobat Gratis di Sumsel

Berbahagialah mereka yang bermukim di Propinsi Sumatra Selatan, karena sejak akhir Januari 2009, mereka sudah dapat menikmati pengobatan gratis. Program ini bernama Jamsoskes (Jaminan Sosial Kesehatan Masyarakat) Sumatera Selatan Semesta. Yang penting adalah kata yang terakhir yaitu "Semesta", artinya universal, alias coverage menyeluruh. Bagaimanakah sesunggguhnya ini terjadi?

Jamsoskes ini, sebenarnya bukanlah berarti menjamin keselurahan penduduk di Sumsel. Lebih tepatnya, ia menutupi bagian yang belum ter-cover oleh asuransi lain, yaitu sekitar 60% penduduk. Yang lainnya yang sudah ter-cover adalah, pegawai negeri oleh ASKES, anggota militer oleh ASABRI, tenaga kerja oleh JAMSOSTEK, dan rakyat miskin oleh ASKESKIN. Kenyataannya justru masyakat yang gak miskin2 amat dan gak kaya2 amat yang tidak terlindungi. Inilah wilayah yang diambil oleh Jamsoskes ini.

Anggaran untuk asuransi ini ditutupi oleh anggaran propinsi sekitar 200 milyar dan anggaran dari kabupaten kotamadya sekitar 80 milyar. Ini baru dari hitung2an anggaran, berapa realisasinya nanti kita belum tahu, apalagi dengan animo masyarakat untuk berobat gratis yang begitu tinggi. Mudah2an sih anggarannya gak jebol.

Di luar anggarannya, ini memang benar2 gratis tis! Syaratnya pun sangat mudah, hanya dengan KTP dan KK, atau surat domisili. Betul2 tidak menyulitkan seperti yang dialami oleh pemegang ASKESKIN. Hanya saja, berobatnya harus berjenjang. Jenjang pertama harus melalui PUSKESMAS, yang bila tidak mampu dirujuk ke rumah sakit kabupaten, yang jika tidak mampu lagi dirujuk ke rumah sakit propinsi, atau malah sampai ke pusat rujukan nasional RSCM. Kenyataannya sudah ada satu pasien dengan kelainan jantung yang dirujuk sampai RSCM sehingga bisa dioperasi di sana plus tiket pesawat ditanggung! Tanpa Jamsoskes ini mungkin nyawa orang itu tidak bisa diselamatkan.

Sang gubernur sendiri Alex Nurdin, melihat bahwa kas daerah memang bisa tekor dengan jaminan kesehatan ini. Namun di lain pihak ia justru melihat di situlah seninya. Ia yang sebelumnya sukses dengan program kesehatan gratis sebagai Bupati Musi Banyuasin, ingin meluaskan sayap program ini sampai ke seluruh Sumatera Selatan. Memang tidak mudah ujarnya untuk meyakinkan seluruh bupati dan DPRD. Katanya jika kita bisa menyediakan program kesehatan gratis karena punya anggaran, nenek2 juga bisa, katanya sambil bergurau. Saat ini ia sendiri sedang berusaha membangun kantor gubernur yang baru tanpa mengambil biaya SEPESER PUN dari kas daerah. Gimana caranya, di situlah tantangannya sebagai seorang gubernur!

Saya pribadi hanya bisa salut untuk sosok seperti beliau. Beliau bukan satu2nya sinar cemerlang di bumi pertiwi ini sejak otonomi daerah. Kita juga mendengar cerita sukses dari Gubernur Gorontalo Fadel Muhamad, Gubernur Sumatera Barat Gamawan Fauzi, Bupati Sragen, Bupati Jembrana, dan Bupati Kutai Timur. Beliau2 ini terus terang memberikan harapan di tengah carut marutnya negeri ini.

Catatan kecil: Gimana Babel, nyesel gak pisah sama Sumsel, jadi gak kebagian kesehatan gratis :p