Presiden kita nampaknya (suka tidak suka) adalah SBY lagi dengan kemenangan mutlak. Yang sekarang sedang ditunggu-tunggu adalah mentrinya.
Di sinilah semua kerancuannya berasal. Kalau berdasarkan UUD, pemerintahan kita adalah presidensial, alias, presiden memiliki hak sepenuhnya untuk menyusun kabinet. Ini berlaku pada masa Orde Baru, di saat itu Pak Harto memiliki kewenangan mutlak dalam menyusun kabinetnya. Namun kecenderungan ini berubah sejak reformasi. DPR yang dulunya di jaman Orde Baru hanya tukang stempel mulai bertaring. Posisi parlemen menjadi terlalu kuat untuk sebuah kabinet presidensial. Sejak itu dalam kenyataannya sistem pemerintahan kita lebih bersifat parlementer. Gus Dur pun selaku presiden pada jaman reformasi pun dijatuhkan dengan gaya "mosi tidak percaya" ala parlementer, walaupun dilakukan dalam kerangka sidang istimewa ala presidensial.
Begitu pula dengan SBY, dengan kabinet pelanginya pada masa periode pertama pemerintahannya. Kabinet pun nampaknya dipilih dari partai pendukungnya, bukan atas hak penuh prerogatif presiden. Presiden mencoba mencari dukungan sebanyak mungkin dengan kabinet, dengan menjalin koalisi dan aliansi di dalam kabinet.
Ini bukan berarti, seorang mentri tidak boleh berasal dari partai. Namun dalam kabinet presidensial, mentri bukanlah sebuah bagian dari koalisi. Isu seperti kabinet profesioanal pun sering dihembuskan, yang berarti ingin mentri berasal dari orang yang berkompeten di bidangnya, bukan orang partai.
Mana yang lebih baik? Mentri orang partai atau profesional? Perlu digaris bawahi bahwa mentri adalah sebuah jabatan politik. Ia bukanlah pejabat profesional. Untuk menjalankan kebijakan ia punya dirjen yang semestinya adalah orang profesioanal. Jadi sebetulnya menteri tidaklah harus sepenuhnya orang profesional. Namun tentu saja, ia haruslah orang yang memahami masalah. Misalnya seorang menteri pendidikan tidaklah harus seorang dosen atau guru, tapi bisa saja seorang pengacara yang selama ini memperjuangkan hak-hak rakyat untuk pendidikan.
Yang lebih mengkuatirkan dalam pemilihan kabinet adalah dagang sapi demi kuatnya koalisi. Yang jadi adalah asal comot orang partai. Dalam kabinet lalu misalnya Bambang Soedibyo, seorang guru besar akuntansi dan bisnis, disuruh mengurusi pendidikan, ya jadilah pendidikan dijadikan bisnis. Atau Aburizal Bakrie yang menjadi Menko Kesra, apa taunya dia tentang kesejahteraan rakyat? Terlihat bahwa kepentingan koalisi mengatasi kepentingan politik akan sebuah pemerintahan yang efektif.
Apakah ini akan terjadi lagi? Mudah2an tidak. Dulu partainya SBY menguasai hanya sebagian kecil parlemen. Kini ia menjadi partai terbesar. Tapi apakah ini akan berarti SBY akan lebih punya nyali untuk mengangkap mentri pilihannya sendiri, bukan desakan partai pendukung koalisinya? Apakah kejadian seperti sewaktu PDIP menjadi mayoritas tapi kehilangan pengaruh akan terjadi lagi. Kita lihat saja nanti.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment