PON (Pekan Olahraga Nasional) yang baru saja selesai di Kalimantan Timur datang tanpa suara dan pergi tanpa gema. Hampir semua orang mungkin tidak tahu masih ada PON. PON yang hadir pas gegap gempita EURO selesai nyaris luput dari perhatian.
Dulu di era 80-an, gegap gempita masih berasa. Semua TV yang wajib relai TVRI mendapat liputan khusus. Kita tahu prestasi propinsi2 tertentu dan persaingan juga terasa khususnya di cabang sepakbola. Beberapa rekor PON juga mendapat perhatian karena memecahkan rekor SEA GAMES atau bahkan ASIAN GAMES di cabang2 andalan. Cabang bulutangkis juga menjadi semacam kawah candradimuka untuk mempersiapkan persaingan di kancah internasional. Kini semua itu tinggal kenangan.
Liputan minim di media baik TV maupun koran, membuat PON bagai tanpa makna. Bagai langit dan bumi dengan EURO yang baru berlalu. Pendukung Jerman menangis walaupun mereka juga mungkin kesulitan menunjuk mana letak Jerman di peta dunia. Pendukung Spanyol gembira walaupun mereka hanya tahu Spanyol sebatas bola, dan tidak tahu Franco seorang diktator Spanyol adalah temen dari Hitler. Apalagi dengan Rusia yang baca abjadnya saja susah.
Olahraga sekarang memang sekedar menjadi tontonan semata. Ia tidak lagi menjadi jati diri bangsa. Era dimana kita menjadi SEA GAMES yang selalu menjadi juara kini entah dimana, jadi runner up saja susah. Tim bola kita dulu juga raja di Asia, paling kalah sama Korea. Masyarakat kita sudah tidak peduli, mereka lebih peduli sama pemain luar negeri. Memang ini adalah masa yang suram bagi olahraga.
Apakah ini ketidakpedulian kita dengan perkembangan olahraga kita di tanah air adalah pertanda kita memang tidak peduli dengan bangsa ini? Mungkin iya. Orang boleh mencaci PSSI buruk tapi bagaimana pun PSSI adalah milik kita, dan PSSI hanya bisa bangkit kalau kita mendukungnya. Begitu pula dengan bulutangkis yang baru saja gagal meraih Thomas dan Uber. Dan semua cabang lainnya. Bangsa ini telah kehilangan harga dirinya, puas sekedar menjadi penonton saja!
Monday, July 21, 2008
Thursday, July 17, 2008
Selamat Buat Tim Olimpiade Matematika
Tim Olimpiade Matematika tingkat SD kita kembali meraup sukses di Hongkong kali ini dengan menjadi runner up. Prestasi ini tentunya membanggakan bagi kita dan menunjukkan bahwa bangsa kita bisa sejajar dengan bangsa2 lain di dunia. Bahkan ada rencana untuk menganugerahkan satya lencana kepada anak2 ini.
Semuanya ini tentunya harus disyukuri ditengah morat-maritnya pendidikan di negeri ini. Tapi ada beberapa hal yang tetap patut kita kritisi.
Pertama, saya melihat kesuksesan ini analog dengan kesuksesan tim sepakbola U-12 kita. Mereka sukses dalam ajang internasional mudah, tetapi begitu mereka masuk ke timnas, mereka memble. Kiranya inilah penyakit bangsa kita. Kita punya potensi, tapi gagal dalam pembinaan. Infrastruktur untuk jadi sebuah bangsa yang maju dalam ilmu pengetahuan belum terbentuk, sama seperti tiadanya infrastruktur sepakbola kita yang masih gak jelas. Apa yang bisa diharapkan dari anak2 ini begitu mereka tumbuh dewasa kalau dana riset dari pemerintah tidak jelas? Kalau mereka jadi dosen, jangan2 mereka nanti akan kejar setoran dengan ngambil proyek banyak atau banyak ngajar di pasca yang gembung koceknya demi untuk menghidupi diri ketimbang melakukan penelitian yang gak disponsori.
Kedua, janganlah kegembiraan ini melupakan kemorat-maritan pendidikan kita secara umum seperti pembantaian ujian nasional yang berlangsung setiap tahun. Dan kesuksesan ini janganlah diklaim oleh negara sebagai kesuksesan pendidikan Indonesia. Kalau pun ada yang berhak mengklaim kesuksesan ini, itu adalah tim sukses olimpiade itu sendiri, dan anak itu sendiri tentu saja. Tujuan pendidikan nasional bukanlah menang Olimpiade dimana2 melainkan mencerdaskan pendidikan bangsa, menuju Indonesia yang maju sejahtera, adil dan makmur.
Dan kepada anak2 yang menang, selamat. Tapi jangan lupa dan terlalu berbangga diri. Ini baru awal perjuangan kalian. Banggalah kalian kalau nantinya kalian mampu mengangkat bangsa ini dari segala kemorat-maritannya. Ingat, perjuangan masih panjang!
Semuanya ini tentunya harus disyukuri ditengah morat-maritnya pendidikan di negeri ini. Tapi ada beberapa hal yang tetap patut kita kritisi.
Pertama, saya melihat kesuksesan ini analog dengan kesuksesan tim sepakbola U-12 kita. Mereka sukses dalam ajang internasional mudah, tetapi begitu mereka masuk ke timnas, mereka memble. Kiranya inilah penyakit bangsa kita. Kita punya potensi, tapi gagal dalam pembinaan. Infrastruktur untuk jadi sebuah bangsa yang maju dalam ilmu pengetahuan belum terbentuk, sama seperti tiadanya infrastruktur sepakbola kita yang masih gak jelas. Apa yang bisa diharapkan dari anak2 ini begitu mereka tumbuh dewasa kalau dana riset dari pemerintah tidak jelas? Kalau mereka jadi dosen, jangan2 mereka nanti akan kejar setoran dengan ngambil proyek banyak atau banyak ngajar di pasca yang gembung koceknya demi untuk menghidupi diri ketimbang melakukan penelitian yang gak disponsori.
Kedua, janganlah kegembiraan ini melupakan kemorat-maritan pendidikan kita secara umum seperti pembantaian ujian nasional yang berlangsung setiap tahun. Dan kesuksesan ini janganlah diklaim oleh negara sebagai kesuksesan pendidikan Indonesia. Kalau pun ada yang berhak mengklaim kesuksesan ini, itu adalah tim sukses olimpiade itu sendiri, dan anak itu sendiri tentu saja. Tujuan pendidikan nasional bukanlah menang Olimpiade dimana2 melainkan mencerdaskan pendidikan bangsa, menuju Indonesia yang maju sejahtera, adil dan makmur.
Dan kepada anak2 yang menang, selamat. Tapi jangan lupa dan terlalu berbangga diri. Ini baru awal perjuangan kalian. Banggalah kalian kalau nantinya kalian mampu mengangkat bangsa ini dari segala kemorat-maritannya. Ingat, perjuangan masih panjang!
Monday, July 14, 2008
Macet Hari Sekolah Pertama
Kemarin Jakarta kembali ditemani macet setelah kurang lebih sebulan macet agak mereda. Apa penyebabnya. Kalau kita ngobrol dengan para sopir atau mereka yang biasa menyetir, jawabannya jelas. Hari itu adalah hari pertama anak masuk sekolah.
Hal ini menarik untuk dilihat, betapa besar kontribusi anak sekolah terhadap masalah kemacetan di Jakarta. Hal yang pertama bisa dilihat adalah jam masuk pagi anak sekolah yang sama, berbeda dengan jam kerja yang lebih variatif. Jam yang sama ini tentu saja menimbulkan pemadatan pada jam tertentu. Seperti halnya pada kasus PLN yang kekurangan listrik, dan keputusan SKB 5 menteri yang memindahkan hari kerja ke sabtu minggu untuk pemerataan beban listrik, mungkin pemerataan jam sekolah adalah juga salah satu cara. Mungkin membagi sekolah menjadi 2, yaitu yang masuk pagi dan siang.
Hal yang kedua adalah jarak tempuh dari rumah ke sekolah. Masalah kemacetan tentu saja tidak harus terjadi kalau anak bersekolah tidak jauh dari rumah. Apakah sistem rayon seperti yang dulu dilakukan, yaitu anak harus memilih sekolah yang terletak di wilayah tempat tinggalnya perlu dicermati lagi sebagai salah satu solusi kemacetan? Masalahnya adalah tentu saja orang tua murid yang cendurung mau anaknya masuk sekolah favorit, walaupun tempat tinggalnya jauh. Masalah ini tentunya rumit, dan tentunya mendapat banyak tentangan jika dijalankan kembali. Pemerataan kualitas sekolah tentunya menjadi sesuatu yang tidak bisa ditawar jika kita ingin kembali ke sistem rayon.
Menurut angka tidak resmi, angka kontribusi kemacetan dari anak sekolah adalah 30%. Cukup besar, dan jika bisa diatasi dapat membuat Jakarta lebih layak dihuni.
Hal ini menarik untuk dilihat, betapa besar kontribusi anak sekolah terhadap masalah kemacetan di Jakarta. Hal yang pertama bisa dilihat adalah jam masuk pagi anak sekolah yang sama, berbeda dengan jam kerja yang lebih variatif. Jam yang sama ini tentu saja menimbulkan pemadatan pada jam tertentu. Seperti halnya pada kasus PLN yang kekurangan listrik, dan keputusan SKB 5 menteri yang memindahkan hari kerja ke sabtu minggu untuk pemerataan beban listrik, mungkin pemerataan jam sekolah adalah juga salah satu cara. Mungkin membagi sekolah menjadi 2, yaitu yang masuk pagi dan siang.
Hal yang kedua adalah jarak tempuh dari rumah ke sekolah. Masalah kemacetan tentu saja tidak harus terjadi kalau anak bersekolah tidak jauh dari rumah. Apakah sistem rayon seperti yang dulu dilakukan, yaitu anak harus memilih sekolah yang terletak di wilayah tempat tinggalnya perlu dicermati lagi sebagai salah satu solusi kemacetan? Masalahnya adalah tentu saja orang tua murid yang cendurung mau anaknya masuk sekolah favorit, walaupun tempat tinggalnya jauh. Masalah ini tentunya rumit, dan tentunya mendapat banyak tentangan jika dijalankan kembali. Pemerataan kualitas sekolah tentunya menjadi sesuatu yang tidak bisa ditawar jika kita ingin kembali ke sistem rayon.
Menurut angka tidak resmi, angka kontribusi kemacetan dari anak sekolah adalah 30%. Cukup besar, dan jika bisa diatasi dapat membuat Jakarta lebih layak dihuni.
Tuesday, July 8, 2008
Apa itu Nasionalisme
Tulisan ini dipicu oleh sebuah acara bernama JAJAK PENDAPAT di MetroTV. Di dalam acara tersebut diundang berbagai elemen masyarakat dan nara sumber: Rm Mudji Sutrisno, Pak Anies Baswedan Rektor Paramadina, dan yang satu lagi saya lupa. Singkat cerita di dalam acara tersebut dilakukan jajak pendapat di antara yang hadir mengenai apakah masih ada nasionalisme di negeri ini.
Jawaban yang menarik adalah yang diberikan oleh Anies Baswedan. Menurut beliau, nasionalisme pasca kemerdekaan lebih sulit untuk mendapatkan bentuk. Di jaman penjajahan, nasionalisme memiliki bentuk yang jelas, yaitu melawan penjajah. Tapi begitu merdeka, ungkapan nasionalisme semacam menjadi monopoli pemerintah. Bentuk2nya berubah menjadi seperti upacara bendera, teks Pancasila, wajib bayar pajak, dll. Semuanya itu menjadi kaitan antara penguasa dan rakyat, tidak ada lagi unggapan spontan seperti di jaman perang.
Hal ini memang menarik untuk dicermati. Betapa sulit kita sekarang menerjemahkan nasionalisme. Saya pengen tertawa rasanya pas peringatan hari lahir Pancasila 1 Juni kemarena ada sekelompok pemuda ormas tertentu, kalau gak salah sih dari seragamnya Pemuda Pancasila, yang merazia orang-orang untuk menanyakan hafal tidak Pancasila, kalau benar dikasih duit. Jadi pengen iseng nanya balik ke orang2 itu, ngerti gak maksud apa yang dimaksud dengan "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat permusyawatan/perwakilan" dalam sila-4. Emang gampang menjelaskan makna kerakyatan? Apalagi hikmat, permusyawaratan dan perwakilan.
Begitu pula dengan upacara bendera. Seolah2 kalau gak ikut upacara bendera tidak nasionalis. Kok semua jadi monopolo tafsir ya. Bagaimana dengan petani yang dengan setia nanam padi buat makan kita semua, yang dengan enak bisa ongkang2 ke pasar tinggal beli beras tak harus berkeringat, apalagi belinya di carrefour. Kurang nasionalis apa mereka. Kalau mereka ngambek gak mau nanam beras gimana, karena tidak dilindungi haknya oleh pemerintah misalnya, dengan menjaga harga gabah dan pupuk supaya stabil.
Apalagi kalau kita lihat pelajaran PKn, kewarganegaraan. Nasionalisme diterjemahkan sebatas hafalan. Emang anak2 itu ngerti apa maksudnya hidup sebagai warganegara. Paling banter yang mereka pahami bahwa menjadi warga negara yang baik adalah manut, jangan neko2. Tapi mereka dengan enak saja jadi pegawai sebuah perusahaan yang kita tahu merusak lingkungan sehingga mematikan mata air yang menjadi sumber hidup orang banyak misalnya.
Memang tidak mudah untuk menerjemahkan makna nasionalisme dalam kehidupan sekarang ini. Kita sudah terlalu terlena dengan kenyamanan yang ditawarkan modernitas. Kita gak usah mikir, ikut arus saja. Kalau mau enak ya go with the flow. Jadilah kita sekedar budak dari jaman, bukan empu dari jaman ini. Mungkin Bung Karno harus hidup kembali untuk mengingatkan kepada kita bahwa "REVOLUSI BELUM SELESAI!"
Jawaban yang menarik adalah yang diberikan oleh Anies Baswedan. Menurut beliau, nasionalisme pasca kemerdekaan lebih sulit untuk mendapatkan bentuk. Di jaman penjajahan, nasionalisme memiliki bentuk yang jelas, yaitu melawan penjajah. Tapi begitu merdeka, ungkapan nasionalisme semacam menjadi monopoli pemerintah. Bentuk2nya berubah menjadi seperti upacara bendera, teks Pancasila, wajib bayar pajak, dll. Semuanya itu menjadi kaitan antara penguasa dan rakyat, tidak ada lagi unggapan spontan seperti di jaman perang.
Hal ini memang menarik untuk dicermati. Betapa sulit kita sekarang menerjemahkan nasionalisme. Saya pengen tertawa rasanya pas peringatan hari lahir Pancasila 1 Juni kemarena ada sekelompok pemuda ormas tertentu, kalau gak salah sih dari seragamnya Pemuda Pancasila, yang merazia orang-orang untuk menanyakan hafal tidak Pancasila, kalau benar dikasih duit. Jadi pengen iseng nanya balik ke orang2 itu, ngerti gak maksud apa yang dimaksud dengan "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat permusyawatan/perwakilan" dalam sila-4. Emang gampang menjelaskan makna kerakyatan? Apalagi hikmat, permusyawaratan dan perwakilan.
Begitu pula dengan upacara bendera. Seolah2 kalau gak ikut upacara bendera tidak nasionalis. Kok semua jadi monopolo tafsir ya. Bagaimana dengan petani yang dengan setia nanam padi buat makan kita semua, yang dengan enak bisa ongkang2 ke pasar tinggal beli beras tak harus berkeringat, apalagi belinya di carrefour. Kurang nasionalis apa mereka. Kalau mereka ngambek gak mau nanam beras gimana, karena tidak dilindungi haknya oleh pemerintah misalnya, dengan menjaga harga gabah dan pupuk supaya stabil.
Apalagi kalau kita lihat pelajaran PKn, kewarganegaraan. Nasionalisme diterjemahkan sebatas hafalan. Emang anak2 itu ngerti apa maksudnya hidup sebagai warganegara. Paling banter yang mereka pahami bahwa menjadi warga negara yang baik adalah manut, jangan neko2. Tapi mereka dengan enak saja jadi pegawai sebuah perusahaan yang kita tahu merusak lingkungan sehingga mematikan mata air yang menjadi sumber hidup orang banyak misalnya.
Memang tidak mudah untuk menerjemahkan makna nasionalisme dalam kehidupan sekarang ini. Kita sudah terlalu terlena dengan kenyamanan yang ditawarkan modernitas. Kita gak usah mikir, ikut arus saja. Kalau mau enak ya go with the flow. Jadilah kita sekedar budak dari jaman, bukan empu dari jaman ini. Mungkin Bung Karno harus hidup kembali untuk mengingatkan kepada kita bahwa "REVOLUSI BELUM SELESAI!"
Sunday, July 6, 2008
Supir Bis yang Membuat Jengkel
Sebenarnya saya nulis ini karena kesal saja pagi ini. Perjalanan yang seharusnya saya tempuh sekitar 20 menit dari Pemuda sampai Imam Bonjol, lewat Diponegoro, menjadi dua kali lipatnya menjadi 40 menit. Saya naik P11 PPD jurusan Pulogadung Grogol. Jalanan masih lengang karena baru pukul setengah tujuh. Begitu saya naik dari Halte TU Gas di jalan Pemuda, bis masih kosong. Dari mulai halte tersebut sampai dengan ujung jalan Pramuka di simpang Matraman, bis tersebut jalan seperti keong, karena menunggu penumpang. Inilah pemicu kekesalan saya.
Mengapa mereka perlu menjalankan bis sepelan itu? Yang paling gampang jadi sasaran tentunya adalah sopir bis yang kejar setoran. Tapi untuk kasus PPD adalah lain. Setau saya mereka digaji, jadi kejar setoran menjadi tidak relevan. Lalu kenapa mereka menjalankannya selambat itu? Apakah memang ada perintah dari PPD? Entahlah. Yang jelas kelihatan adalah armada P11 yang memang jarang. Logikanya kalau armadanya banyak, tidak mungkin mereka jalan pelan-pelan karena pasti kesalip. Tapi ya sudahlah, biarlah itu tetap menjadi misteri karena arah tulisan ini bukan kesana. Ini hanya sekedar intro saja.
Pernahkan anda mengalami hal seperti saya, di mana sopir menjalankan bisnya sepelan keong atau ngetem lama banget padahal kita sedang dikejar waktu. Macet sudah cukup membuat kesal karena kita tidak bisa berbuat apa2 untuk mengatasinya. Tapi bagaimana kalau jalanan lengang dan malah sopirnya yang bikin pelan atau malah ngetem?
Di lain pihak, bis yang suka ngetem dan jalan pelan bisa ngebut seperti setan. Saya juga sering naik Metro Mini. Kalau mereka papasan dengan trayek yang sama, yang terjadi adalah saling mengejar dan saling menyalip untuk berebut "sewa". Pernah sekali waktu mereka saling menyenggol, dan semua penumpang yang ibu2 ketakutan.
Apa artinya semua ini? Sopir bis bisa membawa bis seenak hatinya tergantung pada setoran? Apakah tekanan ekonomi dapat membuat orang seperti itu? Nampaknya dari kasus sopir bisa kelihatannya ya. Pekerjaan menjadi sopir yang ngejar setoran nampaknya memang adalah sebuah profesi yang keras. Di satu pihak kita jadi bisa maklum melihat kelakuan mereka yang seperti itu karena mereka sebenarnya adalah korban dari sistem transportasi kita yang tidak karuan, entah itu Dinas Perhubungan atau ORGANDA. Sistem setoran membuat resiko bisnis ditanggung lebih benar oleh supir, bukan oleh pemilik mobil. Ini adalah sebuah sistem yang tidak adil, dan saya tidak tahu kenapa sistem seperti ini masih dipertahankan.
Dengan demikian, sistem sopir bergaji tetap seperti pramudi TransJakarta nampaknya bisa menjadi pilihan yang lebih baik. Penumpang jelas tidak dirugikan dengan kelakuan supir yang tidak karuan karena tekanan ekonomi. Meskipun demikian, cerita sopir Busway juga bukan tanpa cela, tapi itu dibahas ditulisan lain saja....
Mengapa mereka perlu menjalankan bis sepelan itu? Yang paling gampang jadi sasaran tentunya adalah sopir bis yang kejar setoran. Tapi untuk kasus PPD adalah lain. Setau saya mereka digaji, jadi kejar setoran menjadi tidak relevan. Lalu kenapa mereka menjalankannya selambat itu? Apakah memang ada perintah dari PPD? Entahlah. Yang jelas kelihatan adalah armada P11 yang memang jarang. Logikanya kalau armadanya banyak, tidak mungkin mereka jalan pelan-pelan karena pasti kesalip. Tapi ya sudahlah, biarlah itu tetap menjadi misteri karena arah tulisan ini bukan kesana. Ini hanya sekedar intro saja.
Pernahkan anda mengalami hal seperti saya, di mana sopir menjalankan bisnya sepelan keong atau ngetem lama banget padahal kita sedang dikejar waktu. Macet sudah cukup membuat kesal karena kita tidak bisa berbuat apa2 untuk mengatasinya. Tapi bagaimana kalau jalanan lengang dan malah sopirnya yang bikin pelan atau malah ngetem?
Di lain pihak, bis yang suka ngetem dan jalan pelan bisa ngebut seperti setan. Saya juga sering naik Metro Mini. Kalau mereka papasan dengan trayek yang sama, yang terjadi adalah saling mengejar dan saling menyalip untuk berebut "sewa". Pernah sekali waktu mereka saling menyenggol, dan semua penumpang yang ibu2 ketakutan.
Apa artinya semua ini? Sopir bis bisa membawa bis seenak hatinya tergantung pada setoran? Apakah tekanan ekonomi dapat membuat orang seperti itu? Nampaknya dari kasus sopir bisa kelihatannya ya. Pekerjaan menjadi sopir yang ngejar setoran nampaknya memang adalah sebuah profesi yang keras. Di satu pihak kita jadi bisa maklum melihat kelakuan mereka yang seperti itu karena mereka sebenarnya adalah korban dari sistem transportasi kita yang tidak karuan, entah itu Dinas Perhubungan atau ORGANDA. Sistem setoran membuat resiko bisnis ditanggung lebih benar oleh supir, bukan oleh pemilik mobil. Ini adalah sebuah sistem yang tidak adil, dan saya tidak tahu kenapa sistem seperti ini masih dipertahankan.
Dengan demikian, sistem sopir bergaji tetap seperti pramudi TransJakarta nampaknya bisa menjadi pilihan yang lebih baik. Penumpang jelas tidak dirugikan dengan kelakuan supir yang tidak karuan karena tekanan ekonomi. Meskipun demikian, cerita sopir Busway juga bukan tanpa cela, tapi itu dibahas ditulisan lain saja....
Subscribe to:
Posts (Atom)