Busway vs. Metromini
Warga Jakarta dalam beberapa tahun ini sudah cukup akrab dengan penghuni barunya, bis TransJakarta, yang lebih sering diacu orang dengan sebutan Busway (meskipun busway sebenarnya mengacu ke jalurnya, bukan bisnya, tapi ya sudahnya, sudah kadung). Di satu pihak ia memberikan angin segar dan harapan dalam semerawutnya jalanan di Jakarta. Di pihak lain... nah inilah ceritanya.
Yang pertama, antrian penumpang di beberapa haltenya kadang-kadang masih terlihat kurang manusiawi. Di satu pihak memang manusianya yang susah diatur untuk antri. Di pihak lain, kedatangan bisnya memang lama, bisa 15-20 menit. Jarak yang ideal adalah 5 menit di saat padat pagi dan sore hari, dan 15 menit di saat longgar. Entah apa kendala oleh operator sehingga sulit mengatur jarak ideal. Mungkin jumlah armada yang kurang, mungkin karena antrian di pengisian BBG sehingga harus menunggu lama.
Satu hal yang memang saya lihat ada di dekat tempat saya, adalah semrawutnya terminal Pulo Gadung, sehingga TransJakarta terkena imbasnya. Hal yang lain tentu saja adalah masuknya kendaraan pribadi dan sepeda motor ke dalam jalur busway (wah ini bahasa yang salah benernya, udah pakai jalur pake way lagi, double double, tapi ya sudahlah). Kemacetan pun berimbas pada bis TransJakarta juga.
Yang kedua adalah kelakuan sopir bis. Nampaknya para pengemudi TransJakarta, yang biasa disapa pramudi, belum bisa lepas dari kebiasaan lama sopir2 di Jakarta. Mereka masih sering melanggar batas kecepatan yang ditetapkan operator, yaitu 40-50 km/jam. Sering kali kecepatan mereka tembus bahkan 70 km/jam. Selain itu mereka sering melanggar batas garis di depan lampu lalu lintas, tak bedanya dengan para pengemudi sepeda motor dan angkutan umum. Ini tentu saja ada adalah sebuah potret buruk TransJakarta.
Ketiga, masalah fasilitas. Banyak tempat penyeberangan yang bolong2 sehingga sangat berbahaya bagi para calon penumpang. Kanopi penutup juga banyak yang rusak sehingga bisa kepanasan dan kehujanan. Entah bagaimana cara pengaturan anggaran pengelola TransJakarta.
Keempat, penjaga loket dan petugas tidak proaktif. Di saat ada masalah dengan jalur atau bis, mestinya mereka bisa mengkomunikasikannya dengan para calon penumpang sehingga mereka bisa pindah ke moda transportasi lain, tidak menunggu dengan harapan tidak jelas. Yang seperti ini mestinya tidak perlu menunggu perintah. Bukankah beberapa petugas memang memegang walkie-talkie sehingga dapat memantau?
Pelayanan TransJakarta memang masih jauh dari sempurna. Tapi saya selaku pemakai terus terang cukup merasa diuntungkan, mengingat biayanya yang cuma 3500 dan juga relatif bebas dari kemacetan. Hanya saja masih banyak ruang yang bisa diperbaiki, jika ingin menjadi TransJakarta menjadi sebuah moda transportasi yang bisa dibanggakan warga Jakarta.
Sunday, December 14, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
wah keliatannya nyaman ya naek busway mskipun banyak kekurangan spt elo tulis. Gue sama skali belon pernah nyobain naek itu. Di batam ada jg bus sejenis busway, yg ber AC dan hanya berhenti di halte. Tp ga ada jalur khususnya. Sayangnya rutenya msh terbatas dan bus nya biasa banget kalo dibandingin ama bus transjakarta :)
Dulu pernah naik busway pas masih baru. Perkembangannya sekarang nggak tau deh. Kalo di jepun sih transportasi utamanya kereta listrik, soalnya bisa nampung orang lebih banyak dan operasionalnya lebih murah.
O iya, gimana nih kabar proyek monorel, jadi nggak???
Post a Comment