Tempo 19 April hal.A4 memuat tentang kelanjutan kasus IPDN. Tapi yang saya sorot spesifik, bukan tentang pemukulan. Di situ dituliskan kalau perpustakaan IPDN (hanya) memiliki 40 ribu buku, dengan (HANYA!!) 1100 judul. Perpustakaannya pun hanya buka sampai pukul 14:00.
Sebuah institut yang mendidik calon praja hanya mengandalkan 1100 judul. Perpustakaan dengan 1100 judul adalah kelas perpustakaan pribadi. Beberapa orang yang saya kenal bahkan perpustakaan pribadinya lebih dari 3000 judul. Pantas saja mereka kurang kerjaan, abis gak bisa nongkrong di perpustakaan, baca buku, belajar atau sekedar kongkow sesama rekan. Jadinya energi berlebih itu buat pukul2an.
Penyakit perpustakaan jelek jelas bukan monopoli IPDN. Hampir di semua kampus di Indonesia perpustakaannya tidak memadai (dan gak usah saya sebut satu per satu). Saya hanya bisa menyebutkan dua perpustakaan kampus yang bagus yang biasa saya kunjungi, Perpustakaan STF Driyarkara, dan Perpustakaan Kolese Ignasius (Kolsani). Yang bermukin di Jogja pasti kenal Kolsani karena mereka berfungsi hampir sebagai perpustakaannya kota Jogja, karena banyak mahasiswa skripsi yang nyari bahan mampir ke Kolsani. Koleksinya banyak dengan range keilmuan yang luas.
Kebetulan saja perpustakaan yang saya sebut berafiliasi dengan Gereja Katolik. Bukan berarti tidak ada perpustakaan lain yang bagus, tapi terus terang memang sulit mencari perpustakaan di kampus atau sekolah yang bagus. Perpustakaan lain yang bagus (tapi bukan milik sekolah) misalnya Perpustakaan Freedom Institute, Perpustakaan Diknas, dan Perpustakaan Japan Foundation. Semuanya di Jakarta. Mungkin kita butuh database perpus yang bagus, biar gak pusing kalau mau nyari perpus bagus.
Wednesday, April 18, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
Teman saya yang orang asing juga pernah pusing tujuh keliling cari bahan penelitian. Dia sibuk nyari perpustakaan model di negaranya yang bisa saling pinjam meminjam buku antar perpustakaan. Saya cuma bisa bengong sambil ngiri...he..he..he....Retty
Post a Comment