Sebenarnya saya nulis ini karena kesal saja pagi ini. Perjalanan yang seharusnya saya tempuh sekitar 20 menit dari Pemuda sampai Imam Bonjol, lewat Diponegoro, menjadi dua kali lipatnya menjadi 40 menit. Saya naik P11 PPD jurusan Pulogadung Grogol. Jalanan masih lengang karena baru pukul setengah tujuh. Begitu saya naik dari Halte TU Gas di jalan Pemuda, bis masih kosong. Dari mulai halte tersebut sampai dengan ujung jalan Pramuka di simpang Matraman, bis tersebut jalan seperti keong, karena menunggu penumpang. Inilah pemicu kekesalan saya.
Mengapa mereka perlu menjalankan bis sepelan itu? Yang paling gampang jadi sasaran tentunya adalah sopir bis yang kejar setoran. Tapi untuk kasus PPD adalah lain. Setau saya mereka digaji, jadi kejar setoran menjadi tidak relevan. Lalu kenapa mereka menjalankannya selambat itu? Apakah memang ada perintah dari PPD? Entahlah. Yang jelas kelihatan adalah armada P11 yang memang jarang. Logikanya kalau armadanya banyak, tidak mungkin mereka jalan pelan-pelan karena pasti kesalip. Tapi ya sudahlah, biarlah itu tetap menjadi misteri karena arah tulisan ini bukan kesana. Ini hanya sekedar intro saja.
Pernahkan anda mengalami hal seperti saya, di mana sopir menjalankan bisnya sepelan keong atau ngetem lama banget padahal kita sedang dikejar waktu. Macet sudah cukup membuat kesal karena kita tidak bisa berbuat apa2 untuk mengatasinya. Tapi bagaimana kalau jalanan lengang dan malah sopirnya yang bikin pelan atau malah ngetem?
Di lain pihak, bis yang suka ngetem dan jalan pelan bisa ngebut seperti setan. Saya juga sering naik Metro Mini. Kalau mereka papasan dengan trayek yang sama, yang terjadi adalah saling mengejar dan saling menyalip untuk berebut "sewa". Pernah sekali waktu mereka saling menyenggol, dan semua penumpang yang ibu2 ketakutan.
Apa artinya semua ini? Sopir bis bisa membawa bis seenak hatinya tergantung pada setoran? Apakah tekanan ekonomi dapat membuat orang seperti itu? Nampaknya dari kasus sopir bisa kelihatannya ya. Pekerjaan menjadi sopir yang ngejar setoran nampaknya memang adalah sebuah profesi yang keras. Di satu pihak kita jadi bisa maklum melihat kelakuan mereka yang seperti itu karena mereka sebenarnya adalah korban dari sistem transportasi kita yang tidak karuan, entah itu Dinas Perhubungan atau ORGANDA. Sistem setoran membuat resiko bisnis ditanggung lebih benar oleh supir, bukan oleh pemilik mobil. Ini adalah sebuah sistem yang tidak adil, dan saya tidak tahu kenapa sistem seperti ini masih dipertahankan.
Dengan demikian, sistem sopir bergaji tetap seperti pramudi TransJakarta nampaknya bisa menjadi pilihan yang lebih baik. Penumpang jelas tidak dirugikan dengan kelakuan supir yang tidak karuan karena tekanan ekonomi. Meskipun demikian, cerita sopir Busway juga bukan tanpa cela, tapi itu dibahas ditulisan lain saja....
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
Keliatannya investasi para pengusaha otobus terlalu besar yah On buat memberlakukan system gaji. Soalnya dgn dapet gaji si sopir jd ga punya beban apapun mau dapet duit banyak atau dikit. Kalo mau pake system angka target per hari yg kalo ga tercapai bakal ada penalti ke gaji si sopir bisa ngga yah. Bener nih jadinya pusing dikit hehe
Post a Comment