Tanggal 26 Januari 2009 nanti semua keturunan Cina di seluruh dunia akan merayakan tahun baru Imlek yang adalah tahun baru menurut penanggalan Cina. Bangsa Cina adalah sebuah bangsa diaspora yang menyebar di seluruh dunia, meskipun mempunyai beberapa pusat di luar daratan Cina seperti di Singapura. Kalau tidak salah beberapa bangsa yang masih keturunan Cina seperti Vietnam juga merayakannya, dengan nama yang berbeda dalam bahasa mereka. (Dalam bahasa Vietnam disebut Tết).
Di Indonesia pun tak ketinggalan. Semua mal sudah latah terlebih dahulu dengan menghias seluruh interior mereka dengan warna merah bernuansa Cina. Memang setelah era pemerintahan Gus Dur, bendungan yang selama ini melarang segala jenis perayaan berbau Cina (dan oleh karena itu dengan logika Orde Baru adalah komunis) dibuka. Sekarang kita bisa melihat Barongsai di mana2. Kong Hu Chu pun sudah bisa dicantumkan di KTP sebagai agama (katanya, saya belum pernah lihat sih). Chinatown seperti di Glodok pun penuh dengan segala jualan khas Imlek seperti kue2 dan juga segala macam hiasan berbau Imlek.
Di satu pihak ini adalah suatu hal yang patut disyukuri. Pemandangan yang khas di hari Imlek memberikan warna warni bagi kehidupan di Indonesia. Perayaan Imlek di Indonesia sekarang bisa menyaingi meriahnya Imlek di Singapura atau pun Malaysia. Di pihak lain, hari raya ini menambah sebuah hari lagi di luar Natal dan Idul Fitri untuk menambah kocek para pebisnis.
For better or worse, toleransi terhadap segala sesuatu yang berbau Cina telah berkembang dengan lebih baik, meskipun toleransi beragama kelihatannya menuju ke arah yang kurang menggembirakan. Indonesia masih akan menempuh jalan yang panjang.
Selamat Hari Raya Imlek untuk merayakan.
Friday, January 23, 2009
Wednesday, January 21, 2009
Vandalisme Caleg Pemilu
Mau tahu siapa vandal yang paling parah di negara ini? Bukan anak punk atau seniman jalanan yang suka corat-coret tembok. Bukan pula para penempel iklan majalah atau event di semua dinding dan halte bisa. Yang paling parah adalah para caleg yang nyampah dimana2, dari spanduk, bendera, stiker, poster, baliho, dll. Semuanya adalah sampah dalam arti memang kotoran, dan juga sampah bagi mata karena mengganggu pemandangan.
Kenapa mereka nyampah? Satu, karena memang belum ada kesadaran dari mereka untuk tidak nyampah. Padahal ada bentuk2 lain dari kampanye yang lebih ok. Lewat internet misalnya. Atau pin yang bisa dipakai dan bukan menjadi sampah.
Tapi kesemuanya ini juga mungkin karena aturan. Coba saja kalau KPU melarang kampanye dengan menempel atau pake spanduk atau bendera. Kan beres urusan sampah. Mereka hanya diperbolehkan kampanye lewat media massa atau iklan secara terbuka. Untuk hal ini mungkin mereka harus mencontoh HIDUP ADALAH PERBUATAN, karena itu jelas tidak nyampah. (Dalam hal ini aku pro dengan Sutrisno Bachir. Di luar itu sih dia emang norak).
Kalau mau dilihat lebih lanjut, bagaimana mungkin mereka akan membuat kebijakan pro lingkungan, sedangkan pas kampanye aja mereka udah nyampah?
Kenapa mereka nyampah? Satu, karena memang belum ada kesadaran dari mereka untuk tidak nyampah. Padahal ada bentuk2 lain dari kampanye yang lebih ok. Lewat internet misalnya. Atau pin yang bisa dipakai dan bukan menjadi sampah.
Tapi kesemuanya ini juga mungkin karena aturan. Coba saja kalau KPU melarang kampanye dengan menempel atau pake spanduk atau bendera. Kan beres urusan sampah. Mereka hanya diperbolehkan kampanye lewat media massa atau iklan secara terbuka. Untuk hal ini mungkin mereka harus mencontoh HIDUP ADALAH PERBUATAN, karena itu jelas tidak nyampah. (Dalam hal ini aku pro dengan Sutrisno Bachir. Di luar itu sih dia emang norak).
Kalau mau dilihat lebih lanjut, bagaimana mungkin mereka akan membuat kebijakan pro lingkungan, sedangkan pas kampanye aja mereka udah nyampah?
Sunday, January 18, 2009
Selamat Datang Banjir Jakarta
Banjir tlah tiba! Banjir tlah tiba!
Hore... hore... hore...!
Singsingkanlah celanamu...
Jangan takut terus maju...
Banjir tlah tiba! Banjir tlah tiba!
Kutetap masuk kerja...
Begitu kira2 kalau Tasya harus nyanyi dengan lagu tema banjir. Banjir telah tiba, seperti sebuah joke yang pernah ada di sebuah papan iklan: BANJIR KOK LANGGANAN. Emang sebulan berapa biaya langganannya.
Banjir sepertinya memang tidak bisa lepas dari ibukota Jakarta, siapa pun gubernurnya. Walaupun aku jadi gubernur Jakarta, tetap saja banjir tetap akan melanda.
Beberapa upaya sudah ditempuh. Misalnya banjir kanal timur yang belum selesai-selesai dari jaman pak harto, pengerukan setengah hati kali ciliwung yang gak tau kenapa berhenti di tengah jalan. Ada juga ide ambisius untuk membuat bendungan di Ciawi untuk membendung kali Ciliwung yang saya tidak tahu bentang alamnya pas atau tidak. Warga yang tinggal di bantaran jadi korban sekaligus dipersalahkan.
Tapi sepertinya banjir masih akan menjadi cerita panjang. Dan curhat ini juga tidak akan bisa menghalangi banjir. Ini memang hanya untuk menguraikan uneg2 saya saja.
Seperti kata Mang Ucle dari Democrazy di MetroTV, penyebab banjir hanya satu yaitu AIR (ya iyalah..., masak iya dong). Banjir terjadi karena volume air yang turun tidak mampu ditampung oleh saluran.
1. Daerah serapan air sudah tidak ada, berevolusi jadi pemukiman. Padahal satu pohon saja mampu menjadi reservoar untuk ratusan ribu liter air hujan. Sebagai efek lain, persediaan air tawar juga berkurang. Ironis memang, di musim hujan kebanyakan air, di musim kemarau kekurangan air.
2. Saluran mampet. Yang dipersalahkan sampah. Emang dulu orang gak buang sampah di sungai? Sama saja sebetulnya. Tapi perbedaannya ada dua. Dulu sampahnya organik sehingga mudah terurui. Sekarang sampahnya adalah botol aqua dan kantong keresek yang tidak terurai. Kedua, volume sampah memang bertambah berkali lipat seiring berlipatnya penduduk di kitaran Jakarta Raya.
3. Pembangunan dengan tata kota yang tidak jelas. Jakarta memang sebuah kota yang dibangun dengan sistem drainase yang tidak jelas. Bukankah air akan selalu turun ke tempat yang paling rendah? Dan disitulah mestinya ada drainase. Nampaknya itu tidak terjadi. Banyak sekali daerah rendah yang tidak memiliki saluran sehingga air menggenang, dan itu di daerah Sudirman Thamrin! Di Jakarta dan juga di kota lain umumnya di Indonesia, saluran air kotor limbah rumah tangga juga langsung masuk ke sungai, dan itu juga memberikan kontribusi volume air di luar air hujan. Belum lagi baunya!
Dengan segala hukum alamnya, banjir pun melanda. Selamat datang banjir Jakarta, dan jangan lupa menyinggahi kami tahun depan.
Hore... hore... hore...!
Singsingkanlah celanamu...
Jangan takut terus maju...
Banjir tlah tiba! Banjir tlah tiba!
Kutetap masuk kerja...
Begitu kira2 kalau Tasya harus nyanyi dengan lagu tema banjir. Banjir telah tiba, seperti sebuah joke yang pernah ada di sebuah papan iklan: BANJIR KOK LANGGANAN. Emang sebulan berapa biaya langganannya.
Banjir sepertinya memang tidak bisa lepas dari ibukota Jakarta, siapa pun gubernurnya. Walaupun aku jadi gubernur Jakarta, tetap saja banjir tetap akan melanda.
Beberapa upaya sudah ditempuh. Misalnya banjir kanal timur yang belum selesai-selesai dari jaman pak harto, pengerukan setengah hati kali ciliwung yang gak tau kenapa berhenti di tengah jalan. Ada juga ide ambisius untuk membuat bendungan di Ciawi untuk membendung kali Ciliwung yang saya tidak tahu bentang alamnya pas atau tidak. Warga yang tinggal di bantaran jadi korban sekaligus dipersalahkan.
Tapi sepertinya banjir masih akan menjadi cerita panjang. Dan curhat ini juga tidak akan bisa menghalangi banjir. Ini memang hanya untuk menguraikan uneg2 saya saja.
Seperti kata Mang Ucle dari Democrazy di MetroTV, penyebab banjir hanya satu yaitu AIR (ya iyalah..., masak iya dong). Banjir terjadi karena volume air yang turun tidak mampu ditampung oleh saluran.
1. Daerah serapan air sudah tidak ada, berevolusi jadi pemukiman. Padahal satu pohon saja mampu menjadi reservoar untuk ratusan ribu liter air hujan. Sebagai efek lain, persediaan air tawar juga berkurang. Ironis memang, di musim hujan kebanyakan air, di musim kemarau kekurangan air.
2. Saluran mampet. Yang dipersalahkan sampah. Emang dulu orang gak buang sampah di sungai? Sama saja sebetulnya. Tapi perbedaannya ada dua. Dulu sampahnya organik sehingga mudah terurui. Sekarang sampahnya adalah botol aqua dan kantong keresek yang tidak terurai. Kedua, volume sampah memang bertambah berkali lipat seiring berlipatnya penduduk di kitaran Jakarta Raya.
3. Pembangunan dengan tata kota yang tidak jelas. Jakarta memang sebuah kota yang dibangun dengan sistem drainase yang tidak jelas. Bukankah air akan selalu turun ke tempat yang paling rendah? Dan disitulah mestinya ada drainase. Nampaknya itu tidak terjadi. Banyak sekali daerah rendah yang tidak memiliki saluran sehingga air menggenang, dan itu di daerah Sudirman Thamrin! Di Jakarta dan juga di kota lain umumnya di Indonesia, saluran air kotor limbah rumah tangga juga langsung masuk ke sungai, dan itu juga memberikan kontribusi volume air di luar air hujan. Belum lagi baunya!
Dengan segala hukum alamnya, banjir pun melanda. Selamat datang banjir Jakarta, dan jangan lupa menyinggahi kami tahun depan.
Thursday, January 15, 2009
Rasis, seksis atau agamis?
Baru-baru ini aku mendapatkan sebuah pengalaman yang sebenarnya mungkin tidak terlalu aneh, tapi kalau dialami sendiri tetap saja rasanya beda.
Ceritanya terjadi sewaktu aku pulang kampung, dan sekalian bersama dengan mertua dan keluarga om istriku, ngajak maen sekaligus promosi wisata :p Keluarga om istriku muslim taat, yang gak bolong shalat lima waktunya, meskipun pas jalan2 mesti dijama dan diqasar.
Pada waktu menjelang magrib, beliau sekeluarga mencari masjid, mengejar ashar sebelum lewat. Berhentilah kami di sebuah masjid dekat kampung halaman saya. Mesjidnya terkunci, tapi tak lama kemudian seorang kakek berjenggot dan bersorban, khas gaya penjaga masjid pun datang dan membuka pintu. Berhubung beliau melihat kami sebagai orang asing, ia menyalami kami semua, jadilah kami ngobrol, khas basa basi orang melayu. Kebetulan ayah dan paman saya yang menyertai rombongan kami cukup dikenal di kampung situ, jadilah sebuah silaturahmi.
Kemudian datang lagi seorang yang lebih muda, bekas teman sekolah saya di kampung, dan dia masih ingat denganku! Jadilah ngobrol lagi dalam bahasa belitung tentu saja. Tak lama kemudian datang lagi seorang kakek2 yang lain yang juga tidak kami kenal, yang bersorban juga. Ia melihat kami ngobrol2 dan juga ikut datang sekedar menghormati. Yang aneh adalah ia tidak menyalami semua orang. Ia menghindari perempuan (yang saya tahu alasannya karena sudah sering melihat) dan juga orang yang berbeda warna kulit dengannya (yang saya juga tahu, tapi hampir tidak pernah melihatnya apalagi mengalaminya).
Ini memang hanya perkara kecil, perkara salaman. Tapi bagaimana konsekuensi dari kejadian kecil ini? Apakah kita bisa bekerja sama dengan sesama di dalam masyarakat kalau menyalaminya saja kita tidak mau? Apakah Indonesia masih bisa disatukan jika kita tidak mau saling menyalami. Apakah beliau bisa saya golongkan rasis (karena memandang lain orang beda ras), seksis (karena menganggap perempuan sebagai makhluk kotor atau penggoda) atau agamis (karena menjalankan ajaran agamanya)?
Saya serahkan ini pada sidang pembaca.
Ceritanya terjadi sewaktu aku pulang kampung, dan sekalian bersama dengan mertua dan keluarga om istriku, ngajak maen sekaligus promosi wisata :p Keluarga om istriku muslim taat, yang gak bolong shalat lima waktunya, meskipun pas jalan2 mesti dijama dan diqasar.
Pada waktu menjelang magrib, beliau sekeluarga mencari masjid, mengejar ashar sebelum lewat. Berhentilah kami di sebuah masjid dekat kampung halaman saya. Mesjidnya terkunci, tapi tak lama kemudian seorang kakek berjenggot dan bersorban, khas gaya penjaga masjid pun datang dan membuka pintu. Berhubung beliau melihat kami sebagai orang asing, ia menyalami kami semua, jadilah kami ngobrol, khas basa basi orang melayu. Kebetulan ayah dan paman saya yang menyertai rombongan kami cukup dikenal di kampung situ, jadilah sebuah silaturahmi.
Kemudian datang lagi seorang yang lebih muda, bekas teman sekolah saya di kampung, dan dia masih ingat denganku! Jadilah ngobrol lagi dalam bahasa belitung tentu saja. Tak lama kemudian datang lagi seorang kakek2 yang lain yang juga tidak kami kenal, yang bersorban juga. Ia melihat kami ngobrol2 dan juga ikut datang sekedar menghormati. Yang aneh adalah ia tidak menyalami semua orang. Ia menghindari perempuan (yang saya tahu alasannya karena sudah sering melihat) dan juga orang yang berbeda warna kulit dengannya (yang saya juga tahu, tapi hampir tidak pernah melihatnya apalagi mengalaminya).
Ini memang hanya perkara kecil, perkara salaman. Tapi bagaimana konsekuensi dari kejadian kecil ini? Apakah kita bisa bekerja sama dengan sesama di dalam masyarakat kalau menyalaminya saja kita tidak mau? Apakah Indonesia masih bisa disatukan jika kita tidak mau saling menyalami. Apakah beliau bisa saya golongkan rasis (karena memandang lain orang beda ras), seksis (karena menganggap perempuan sebagai makhluk kotor atau penggoda) atau agamis (karena menjalankan ajaran agamanya)?
Saya serahkan ini pada sidang pembaca.
Subscribe to:
Posts (Atom)