Banjir tlah tiba! Banjir tlah tiba!
Hore... hore... hore...!
Singsingkanlah celanamu...
Jangan takut terus maju...
Banjir tlah tiba! Banjir tlah tiba!
Kutetap masuk kerja...
Begitu kira2 kalau Tasya harus nyanyi dengan lagu tema banjir. Banjir telah tiba, seperti sebuah joke yang pernah ada di sebuah papan iklan: BANJIR KOK LANGGANAN. Emang sebulan berapa biaya langganannya.
Banjir sepertinya memang tidak bisa lepas dari ibukota Jakarta, siapa pun gubernurnya. Walaupun aku jadi gubernur Jakarta, tetap saja banjir tetap akan melanda.
Beberapa upaya sudah ditempuh. Misalnya banjir kanal timur yang belum selesai-selesai dari jaman pak harto, pengerukan setengah hati kali ciliwung yang gak tau kenapa berhenti di tengah jalan. Ada juga ide ambisius untuk membuat bendungan di Ciawi untuk membendung kali Ciliwung yang saya tidak tahu bentang alamnya pas atau tidak. Warga yang tinggal di bantaran jadi korban sekaligus dipersalahkan.
Tapi sepertinya banjir masih akan menjadi cerita panjang. Dan curhat ini juga tidak akan bisa menghalangi banjir. Ini memang hanya untuk menguraikan uneg2 saya saja.
Seperti kata Mang Ucle dari Democrazy di MetroTV, penyebab banjir hanya satu yaitu AIR (ya iyalah..., masak iya dong). Banjir terjadi karena volume air yang turun tidak mampu ditampung oleh saluran.
1. Daerah serapan air sudah tidak ada, berevolusi jadi pemukiman. Padahal satu pohon saja mampu menjadi reservoar untuk ratusan ribu liter air hujan. Sebagai efek lain, persediaan air tawar juga berkurang. Ironis memang, di musim hujan kebanyakan air, di musim kemarau kekurangan air.
2. Saluran mampet. Yang dipersalahkan sampah. Emang dulu orang gak buang sampah di sungai? Sama saja sebetulnya. Tapi perbedaannya ada dua. Dulu sampahnya organik sehingga mudah terurui. Sekarang sampahnya adalah botol aqua dan kantong keresek yang tidak terurai. Kedua, volume sampah memang bertambah berkali lipat seiring berlipatnya penduduk di kitaran Jakarta Raya.
3. Pembangunan dengan tata kota yang tidak jelas. Jakarta memang sebuah kota yang dibangun dengan sistem drainase yang tidak jelas. Bukankah air akan selalu turun ke tempat yang paling rendah? Dan disitulah mestinya ada drainase. Nampaknya itu tidak terjadi. Banyak sekali daerah rendah yang tidak memiliki saluran sehingga air menggenang, dan itu di daerah Sudirman Thamrin! Di Jakarta dan juga di kota lain umumnya di Indonesia, saluran air kotor limbah rumah tangga juga langsung masuk ke sungai, dan itu juga memberikan kontribusi volume air di luar air hujan. Belum lagi baunya!
Dengan segala hukum alamnya, banjir pun melanda. Selamat datang banjir Jakarta, dan jangan lupa menyinggahi kami tahun depan.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
Ada solusi baru nggak? atau yang paling gampang kayaknya nyalahin orang aja deh.
nyalahin pemerintah? demo nggak demo jg gak didengerin. Paling didengerin pas sekarang, jelang PEMILU! udah itu, tuli lagi deh. paling yang ngendemo bakalan dipentungin.
nyalahin rakyat? udah capek dilanda bencana, banjir, resesi, dll. masak mau ditambahin tuduhan lagi? lagian nggak ngefek. apalagi kalo rakyatnya "tengkaran" :P
nyalahin alam? mau gimana lagi? emang sifat air udah dari sononya kayak gitu. Siapa emangnya yang ngancurin ekosistem?
nyalahin Tuhan? naaahhhh, ini paling gampang. Mau diteriakin apapun, Tuhan nggak bakalan bales teriak koq. Paling setelah Tuhan dicaci maki, tahun depan Jakarta bakalan ditambahin yang hadiah lain, gempa misalnya? hehehe...
Post a Comment