Sunday, July 12, 2009

Presiden Sudah, Siapa Mentrinya?

Presiden kita nampaknya (suka tidak suka) adalah SBY lagi dengan kemenangan mutlak. Yang sekarang sedang ditunggu-tunggu adalah mentrinya.

Di sinilah semua kerancuannya berasal. Kalau berdasarkan UUD, pemerintahan kita adalah presidensial, alias, presiden memiliki hak sepenuhnya untuk menyusun kabinet. Ini berlaku pada masa Orde Baru, di saat itu Pak Harto memiliki kewenangan mutlak dalam menyusun kabinetnya. Namun kecenderungan ini berubah sejak reformasi. DPR yang dulunya di jaman Orde Baru hanya tukang stempel mulai bertaring. Posisi parlemen menjadi terlalu kuat untuk sebuah kabinet presidensial. Sejak itu dalam kenyataannya sistem pemerintahan kita lebih bersifat parlementer. Gus Dur pun selaku presiden pada jaman reformasi pun dijatuhkan dengan gaya "mosi tidak percaya" ala parlementer, walaupun dilakukan dalam kerangka sidang istimewa ala presidensial.

Begitu pula dengan SBY, dengan kabinet pelanginya pada masa periode pertama pemerintahannya. Kabinet pun nampaknya dipilih dari partai pendukungnya, bukan atas hak penuh prerogatif presiden. Presiden mencoba mencari dukungan sebanyak mungkin dengan kabinet, dengan menjalin koalisi dan aliansi di dalam kabinet.

Ini bukan berarti, seorang mentri tidak boleh berasal dari partai. Namun dalam kabinet presidensial, mentri bukanlah sebuah bagian dari koalisi. Isu seperti kabinet profesioanal pun sering dihembuskan, yang berarti ingin mentri berasal dari orang yang berkompeten di bidangnya, bukan orang partai.

Mana yang lebih baik? Mentri orang partai atau profesional? Perlu digaris bawahi bahwa mentri adalah sebuah jabatan politik. Ia bukanlah pejabat profesional. Untuk menjalankan kebijakan ia punya dirjen yang semestinya adalah orang profesioanal. Jadi sebetulnya menteri tidaklah harus sepenuhnya orang profesional. Namun tentu saja, ia haruslah orang yang memahami masalah. Misalnya seorang menteri pendidikan tidaklah harus seorang dosen atau guru, tapi bisa saja seorang pengacara yang selama ini memperjuangkan hak-hak rakyat untuk pendidikan.

Yang lebih mengkuatirkan dalam pemilihan kabinet adalah dagang sapi demi kuatnya koalisi. Yang jadi adalah asal comot orang partai. Dalam kabinet lalu misalnya Bambang Soedibyo, seorang guru besar akuntansi dan bisnis, disuruh mengurusi pendidikan, ya jadilah pendidikan dijadikan bisnis. Atau Aburizal Bakrie yang menjadi Menko Kesra, apa taunya dia tentang kesejahteraan rakyat? Terlihat bahwa kepentingan koalisi mengatasi kepentingan politik akan sebuah pemerintahan yang efektif.

Apakah ini akan terjadi lagi? Mudah2an tidak. Dulu partainya SBY menguasai hanya sebagian kecil parlemen. Kini ia menjadi partai terbesar. Tapi apakah ini akan berarti SBY akan lebih punya nyali untuk mengangkap mentri pilihannya sendiri, bukan desakan partai pendukung koalisinya? Apakah kejadian seperti sewaktu PDIP menjadi mayoritas tapi kehilangan pengaruh akan terjadi lagi. Kita lihat saja nanti.

Tuesday, June 30, 2009

Jakarta dan Sekolahan

Hari-hari ini di Jakarta seolah lebih tertahankan. Jalan-jalan yang biasanya macet mulai jam 6 pagi lebih lengang dari biasanya. Waktu perjalanan bisa dihemat paling tidak setengah sampai satu jam dari biasanya. Ada apa gerangan dengan Jakarta. Jawabannya sederhana. Sekolah libur!

Dari kenyataan ini nampak sekali kontribusi sekolah terhadap kemacetan di Jakarta. Andaikan Jakarta bisa seperti ini sepanjang tahun. Polusi berkurang, lalu lintas lebih lancar, dan otak bisa lebih waras karena tidak stres. Namun begitu liburan sekolah usai, kegilaan di jalanan akan dimulai kembali.

Pemda Jakarta nampaknya sudah tahu betapa besar kontribusi anak sekolah terhadap kemacetan. Perda sudah mencoba dengan menghimbau (atau mengharuskan, aku kurang jelas) sekolah untuk mengubah jam masuknya supaya tidak tabrakan dengan jadwal orang kantoran. Cuma tidak tahu hasilnya bagaimana. Begitu pula dengan masalah parkir di depan sekolah yang tidak kunjung selesai. Parkir selalu membuat macet jalan di mana sekolah ada, baik di jam masuk maupun jam pulang sekolah. Mobil jemputan selalu mengambil jalur yang bukan haknya sehingga kendaraan di belakangnya terpaksa antri.

Apakah sistem rayon harus diberlakukan kembali supaya anak tidak bersekolah terlalu jauh dari tempat tinggalnya sehingga tidak perlu diantar pakai mobil? Mungkin. Atau sistem bus sekolah yang melakukan antar jemput sehingga anak tidak perlu naik kendaraan pribadi. Semuanya ini perlu dipertimbangkan. Namun satu hal yang sering dilupakan Pemda DKI, adalah solusinya sering kali tidak integral, mengubah satu tanpa melihat yang lain, atau malah kontra produktif. Masalah sekolah dan lalu lintas ini tidaklah sederhana, sehingga penyelesaiannya tidak bisa sekedar tambal sulan melainkan harus komprehensif.

Nikmatilah Jakarta, selama tidak terlalu macet. Selamat Ulang Tahun, JAKARTA!

Mega, SBY, atau Kalla?

Pemilu tinggal dalam hitungan hari, sudahkah menentukan pilihan (atau ketidakpilihan Anda)? Apa pun pilihan Anda (termasuk tidak memilih), buatlah itu sebagai pilihan yang terbaik bagi Anda.

Lalu apa pilihan saya, inilah pilihan saya...
Kemungkinan besar, kecuali terjadi sesuatu dan lain hal misalnya nama saya tiba2 hilang dari DPT, atau ada kejadian besar yang membuat saya berubah pikiran, saya akan memilih, dan ini menjadikan keikutsertaan saya yang pertama dalam pemilu, mengingat pemilu 98 saya golput, dan juga pemilu2 sesudahnya.

Mengapa saya mengakhiri golput saya. Ini bukan karena saya telah memiliki jagoan yang saya usung. Ini juga bukan berarti di antara ketiga calon yang tidak memenuhi harapan saya, ada yang terbaik dari yang terburuk. Bukan itu semua. Saya memutuskan diri untuk memilih setelah ada wacana memenangkan pemilu dalam satu putaran dari pasangan SBY-Boediono. Saya tidak ingin ada presiden yang terpilih secara mutlak. Di satu pihak memang terbentuk pemerintah yang kuat, namun dengan mengingat blok Partai Demokrat dan PKS yang cukup besar di parlemen, kemenangan mutlak akan cenderung mengarah ke diktator. Ini yang ingin saya hindarkan. Bukan karena saya mendukung Mega atau JK, melainkan saya tidak ingin SBY menang mutlak. Ini juga bukan berarti SBY adalah calon yang terburuk versi saya, tidak juga. Ia bukan calon terburuk, namun ia bisa menjadi Presiden yang buruk jika menang mutlak.

Wacana penghematan anggaran dengan pemilu satu putaran pun tidak saya amini. Ini adalah argumen yang berbahasa. Lanjutannya bisa saja begini, lihat kan dari survey sudah bisa dilihat bahwa saya paling dipercaya, tidak usah pemilu saja untuk menghemat anggaran. Ini adalah argumen seorang diktator. Demokrasi memang mahal, dan itu adalah harga yang harus kita bayar. Saya lebih rela uang pajak saya dipakai untuk pemilu dari pada dipakai untuk anggaran2 yang tidak perlu lainnya.

Bagaimana dengan Anda. Ya terserah Anda, mau JK, Mega atau SBY, atau golput. Itu adalah hak anda, dan tidak seorang pun yang berhak memaksa anda.

Selamat memilih, (atau hari libur buat yang golput) :p

Monday, April 27, 2009

Who's the next Vice President?

Pertanyaan mengenai siapa presiden kita berikutnya kelihatannya sudah gak laku. Hampir pasti SBY akan menjadi presiden berikutnya (kecuali Tuhan berkehendak lain). Yang menjadi panas adalah siapakah pendampingnya.

Kemungkinan pertama: JUSUF KALA
Life as usual. Tidak ada perubahan berarti. Status quo. Tapi bukankah ini yang paling disukai para pengusaha? Pecahnya koalisi antara Golkar dan Demokrat akan menimbulkan perubahan yang tidak bisa ditebak. Dan pengusaha tidak suka akan hal yang tidak bisa ditebak.

Kemungkinan kedua: CALON DARI PKS
Mengingat PKS adalah sekutu Demokrat yang paling setia, paling tidak sampai saat ini. Kalangan Islam perkotaan akan mendukung ini. Tapi ini akan mendapatkan perlawanan dari golongan Islam yang lain yang melihat PKS sebagai perpanjangan tangan Wahabbi. Apalagi kelompok minoritas dan pendukung pluralisme akan melobi habis2an supaya calon ini gagal. Bisa terjadi konflik. Ini adalah pasangan yang menurut saya paling kontroversial.

Kemungkinan ketiga, CALON PROFESIONAL
Calon ini akan mendapat dukungan dari kaum moderat. Ini sekaligus pilihan yang paling aman bagi partai Demokrat karena tidak memihak. Ada juga kelemahannya. Demokrat tidak punya pendukung partai yang kuat dari pihak cawapres. Calon yang sering terdengar digadang2 adalah Sri Mulyani, Menteri Keuangan sekarang.

Kemungkinan keempat, HAMENGKUBUWONO X
Calon ini akan didukung para pengusung pluralisme mengingat sepak terjang Sri Sultan, dan lebih terutama lagi istrinya, Kanjeng Ratu Hemas. Tapi beliau kurang mendapat dukungan secara politis sehingga sulit untuk maju ke ajang pemilihan cawapres. Ia juga bisa menjadi calon alternatif bagi Golkar jika ingin mempertahankan koalisi dengan Demokrat.

Wednesday, April 15, 2009

Mafia Kesehatan

Mafia pengadilan di pengadilan dan mahkamah agung sudah kita kenal dan sering mendapat sorotan. Tapi ada satu mafia lagi yang tak kalah ganas, malah lebih serius karena urusannya adalah nyawa. Siapakah mereka? Mereka adalah mafia kesehatan, dari profesi yang berkaitan dengan kesehatan, mulai dari dokter, perawat, pemilik dan manajemen rumah sakit, pejabat pemerintah terkait, perusahaan farmasi, sales obat, apotik, IDI, asuransi kesehatan dan mungkin masih banyak lagi.

1. Dokter
Dokter adalah profesi kesehatan yang paling penting. Ia punya otoritas penuh dalam menentukan "nyawa" pasiennya. Bagaimana kinerja dokter di negara kita. Susah bukan rahasia kalau dokter di Indonesia lebih mata duitan ketimbang mengabdi. Mungkin mereka harus balikin modal karena mahalnya biaya yang mereka keluarkan untuk kuliah, apalagi spesialis. Mereka juga kerja di banyak tempat, kayak sopir angkot yang ngejar setoran. Entah seberapa perhatian yang bisa mereka curahkan untuk pasien mengingat seorang dokter menangani sangat banyak pasien dalam sehari. Di satu pihak rasio dokter dengan jumlah penduduk memang masih jelek, dan ini diperburuk dengan numpuknya dokter di kota2 besar. Kasus malpraktek juga masih banyak terjadi.

2. Rumah Sakit.
Rumah Sakit di Indonesia lebih dilihat sebagai pengeruk keuntungan dibandingkan sebagai pemberi layanan kesehatan bagi masyarakat. Belum2 mereka sudah minta uang muka kalau kita mau diopname. Posisi rumah sakit dengan dokter juga problematik, karena ada kala dokter menekan rumah sakit, dan rumah sakit menekan dokter, dan yang menjadi korban selalu pasien. Pembiayaan rumah sakit belum transparan, disatu pihak mereka mengeluh kesulitan keuangan sehingga membebankan pasien, namun di pihak lain, rumah sakit begitu menjamur sehingga memberikan pandangan bahwa bisnis rumah sakit adalah bisnis yang menguntungkan.

3. Pemerintah.
Asuransi kesehatan universal bagi seluruh masyarakan belum terbentuk, kecuali di beberapa daerah seperti Sumsel. Ini masih menjadi PR besar. Belum lagi berapa anggaran APBN untuk kesehatan, dan peraturan perundangan tentang kesehatan yang melindungi masyarakat.

4. Asuransi Kesehatan.
Asuransi kesehatan juga tidak jelas. Dananya tidak transparan, reimbursenya juga sering gak jelas. Sering ada kasus yang tidak bisa diklaim, sementara perusahaan asuransi plus agen2nya menjadi kaya raya.

5. Farmasi.
Ini juga sarang setan. Harga obat di negara ini setinggi langit. Banyak obat2 yang sebenarnya generik bebas paten yang harusnya murah diberi brand sehingga bisa dijual dengan harga 10x lipat, dan ini diijinkan undang2. Komisi2an antara perusahaan farmasi dan dokter juga sudah menjadi rahasia umum. Dokter jadi memberi obat berdasarkan pertimbangan komisi, bukan pertimbangan terapi, supaya dapat komisi.

6. Sales obat.
Ini juga sama, kepanjangan tangan dari perusahaan farmasi. Bagi mereka yang penting obat laku dan dapat komisi.

7. IDI
IDI (Ikatan Dokter Indonesia) lebih sering terdengar melindungi dokter yang melakukan malpraktek, sehingga tidak memberi efek jera. Ini seperti pepatah saja, "If you scratch my back, I will scratch your back."

8. Pemalsu obat.
Ini lebih parah lagi. Mereka memalsukan obat dan menjualnya. Bayangkan saja anda kalau beli obat jantung yang palsu. Masih mending kalau mereka memalsu obat dengan menggunakan placebo alias cuma tepung, kadang mereka memalsu obat dengan memakai obat kadaluarsa sehingga membahayakan nyawa secara langsung.

Monday, April 13, 2009

Melihat Hasil Pemilu

Pemilu Legislatif telah berlalu. Demokrat meraih kemenangan besar, mengalahkan dua partai besar PDIP dan Golkar. PKS juga menuai hasil yang lumayan di peringkat 4, mengalahkan semua partai2 menengah seperti PAN, PKB, dan PPP. Ia menjadi partai Islam yang paling populer, mengatasi partai2 lama yang mendahuluinya dan mengklaim punya massa tradisional seperti Muhamadiyah dan NU. (Catatan: paling tidak dari hasil quick-count, dan kayaknya real-countnya tidak akan jauh berubah).

Demokrat kelihatannya akan menggantikan Golkar sebagai partai status quo. Terbukti para pemilih sebagian besar memilih calon yang sedang berkuasa yaitu SBY. Namun para pemilih tidak sadar kalau SBY tidaklah menjadi anggota parlemen. Yang menjadi anggota parlemen adalah caleg dari Partai Demokrat. Dengan hanya memilih partai (karena SBY) tanpa memilih calon, adalah sama saja dengan memilih kucing dalam karung, alias sami mawon dengan pemilu sebelumnya. Dan yang lebih parah lagi, SBY terlalu dominan di Partai Demokrat, sehingga hampir bisa dipastikan para caleg dari demokrat akan manut ke dia. Eksekutif akan menjadi terlalu kuat.

Yang menarik adalah bagaimana pemilih demokrat di pemilu lima tahun mendatang, karena SBY tidak boleh lagi ikut mencalonkan diri sebagai presiden. Apakah ini lonceng kematian Partai Demokrat karena terlalu bergantung pada satu figur? Dan rasanya Partai Demokrat belum bisa menelorkan anggota yang berkualitas dan terdengar. Coba, anda tau nggak siapa ketua Partainya dan gembong-gembongnya? Hampir pasti anda tidak tahu...

Pemilih Golkar juga nampaknya banyak yang beralih ke demokrat. Mereka ini adalah sebagian besar dari rakyat kita yang sebenarnya tidak terlalu mau pusing dengan urusan politik dan tidak suka gonjang-ganjing. Ya sudah, pilih saja yang berkuasa. Ini terus terang bukanlah sebuah budaya politik yang sehat, karena meskipun penguasa gagal menjalankan pemerintah, kemungkinan ia terpilih tetap besar. Rakyat lebih suka status quo. Untung saja di konstitusi sudah dibatasi dua kali, kalau tidak SBY bisa jadi kayak Pak Harto (dengan sistem demokrasi langsung) yang berkuasa terus. Payah...

Monday, April 6, 2009

Pilih Siapa?

Walaupun secara teknis gue golput, aku mau sedikit memberikan pilihan kepada mereka yang mau milih, khususnya untuk DAPIL DKI 1 (Jaktim), DKI 2 (Jakpus, Jaksel, Luar Negeri), DKI 3 (Jakut, Jakbar, Kep Seribu), JABAR 6 (Kota Depok dan Bekasi).

1. DKI 1, Jakarta Timur (enam kursi)

- Partai no.7 PKPI, no. 2, Sumarni Dawam Raharjo, istri cendikiawan muslim Dawam Raharjo, aktif mengurus hak2 anak, dan menangani human traffiking, mau menghapuskan SKBRI untuk anak.
- Partai no.9 PAN, no.4 Djainal Abidin Simanjuntak, peneliti di Lembaga Demografi UI, mengusulkan penghapusan kolom agama di KTP.
- Partai no.16 PDP, no.2 Christianus Siner Keytimu, tokoh Petisi 50. Udah tua, tapi masih semangat, menolak peraturan berbau agama.

2. DKI 2, Jakpus, Selatan, Luar Negeri (tujuh kursi)

- Partai no.8 PKS, no 1, Mohamad Sohibul Iman, peneliti lulusan JAIST.
- Partai no.8 PKS, no 2, Nursanita Nasution, Dosen UI, aktif memperjuangkan UKM
- Partai no. 26 PNBKI, no. 1, Kantjana Indrishwari, tokoh Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB)
- Partai no.34 PKNU, no 1, Alwi Shihab, cukup jelas.

3. DKI 3, Jakbar, Jakut, Kep Seribu

- Partai no.8 PKS, no 1, Adang Daradjatun, cukup jelas.
- Partai no.13 PKB, no 1, Faizol Riza, mantan ketua PRD, pernah diculik, ketua Forum Buruh PKB

4. JABAR 3, Bekasi, Depok

- Partai no.9 PAN, no.1 Didik Rachbini, dosen UI, pendiri Indef, ekonom senior dan kritis.
- Partai n0.24 PPP, no. 5 Syahrizal Syarif, dosen FKM UI, ketua Lembaga Pelayanan Kesehatan NU, menggagas 15% APBN untuk kesehatan.

Selamat memilih bagi yang mau...

Wednesday, April 1, 2009

Piawsu di Indonesia

Piawsu adalah sebuah istilah yang pasti dikenal para pecinta cerita silat (lebih pasnya kungfu sih) yang bersetting di Cina. Piawsu adalah semacam kelompok keamanan pengawal para pedagang supaya mereka bebas dari perampok yang berkeliaran di dunia kang ow. Piawsu biasanya diisi oleh para pendekar atau sekedar jagoan kampung untuk mencari nafkah. Bila yang merampok adalah para cere, cukup para tukang pukul saja yang menghadapi. Tapi kalau barang yang dikawal adalah barang mahal, atau pelanggan VIP, maka yang turun tangan mengawal bisa jadi sang kepala piawsu sendiri, yang biasanya adalah seorang pendekar yang mumpuni, paling kalahnya sama pendekar yang paling ulung di daerah tersebut.

Apakah piawsu ada di Indonesia? Di luar dugaan saya ternyata ada. Jasa keamanan memang sudah kita kenal sejak lama, tapi yang benar2 seperti piawsu, yang memang menjaga keamanan barang dagangan terutama dari jarahan bajing luncat ternyata memang ada. Saya baru tahu sewaktu mendengarkan acara di iRadio (89.6FM, Jakarta), yang mewawancarai seorang sopir truk yang perusahaannya memanfaatkan jasa "piawsu".

Latar belakang dari usaha keamanan seperti ini mungkin memang tidak jauh dari cerita silat. Para pengusaha angkutan barang sering mengalami pungli baik dari bandit atau pejabat nakal. Kadang kala malah dirampok di tengah jalan. Ternyata ada juga yang melihat peluang bisnis dari kondisi ini. Maka berdirilah organisasi piawsu, sebuah organisasi ekstra yudisial (maksudnya di luar hukum), untuk menutup kekosongan ini. Menurut pernyataan orang yang memanfaatkan jasa ini, bila mereka dirampok, barang rampokannya bisa kembali jika memanfaatkan jasa ini. Lebih seringnya sih para penjahat dan juga "pejabat" sudah jeri duluan bila tahu bahwa suatu truk dilindungi oleh para piawsu lokal ini.

Bagaimana cara bergabung? Cukup dengan menghubungi contact person yang umumnya sudah dikenal oleh para kalangan angkutan. Dengan membayar uang jasa yang berkisar 300-600ribu setahun, mereka berhak menempelkan logo organisasi tersebut pada truk mereka. Dijamin bebas gangguan. Kalau pun diganggu tinggal lapor dan katanya sih pelayannya memang memuaskan!

Seperti halnya piawsu, organisasi ini juga punya daerah kekuasaan. Salah satu yang paling ngetop adalah GAJAH OLING (cek aja di truk2). Grup ini membawahi seluruh Jawa. Yang di Sumatra ada PETIR. A05 ada di Jawa Barat, dan masih banyak lagi. Dari semuanya, katanya sih yang paling ditakuti adalah GAJAH OLING.

Luar biasa bukan? Nampaknya ketidakberdayaan hukum di Indonesia membuat organisasi ektra yudisial berkembang subur. Tapi kehadiran mereka nampaknya juga membuat gerah aparat. Dengar2 beberapa markas GAJAH OLING juga digerebek polisi. Baca ini. Benar2 kayak cerita kungfu aja. Pejabat kerajaan berkuncir biasanya pangkatnya kapten) menggerebek piawsu yang dianggap mengganggu wibawa pejabat.

Sunday, March 29, 2009

Sedikit Liputan tentang Earth Hour

Earth Hour dapat gaung besar di beberapa belahan dunia. Di Eiffel, seluruh lampunya dimatikan. Begitu pula Golden Gate di San Fransisca. Di Australia pun gelap gulita. Beberapa konser digelar secara unplug diterangi lilin2 kecil. Gaung Earth Hour pun sudah dibicarakan jauh2 hari melalui media TV atau pun radio (koran gak tau, soalnya aku gak langganan).

Di Indonesia kampanye ini disponsori oleh SHARP, dan SHARP mematikan semua display iklan mereka sepanjang Earth Hour dan mengajak semua mitra bisnis mereka untuk ikut mematikan lampu. Sesuatu yang patut diacungi jempol. Tapi bagaimana yang terjadi.

Aku dan istriku sudah penasaran melihat apa yang akan terjadi pada hari Sabtu 28 Maret 2009, jam 8.30-9.30 malam. Beberapa teman kami sudah meng-sms bahwa nanti akan ada pemadaman lampu oleh PLN selama satu jam. Kami (karena memang sengaja gak punya TV) memantau countdown-nya lewat Green Radio 89.2FM, sebuah radio yang memang khusus bertemakan lingkungan. Begitu jamnya lampu kami matikan, dan aku keluar melihat ke tetangga2 kami. Memang tidak banyak sih. Tapi di sepanjang 50 meter pertama gang rumah kami, paling tidak ada lima rumah yang mematikan lampu. Aku memang tidak menelusuri seluruh gang, karena memang cukup panjang. Lumayan lah, dari pada tidak sama sekali. Aku sempat melihat2 agak lama sekedar ingin memastikan mereka mematikan lampu karena memang sudah tidur atau memang sengaja mematikan lampu. Ternyata di dalam rumah memang ada orangnya. Ya, mereka memang sengaja mematikan lampu!

Aku memantau dari beberapa radio tentang perayaan Earth Hour ini. Perayaannya dipusatkan di sebuah kafe di Kemang. Aku lupa nama kafenya. Di situ hadir semua bintang iklan Earth Hour, termasuk Sandra Dewi tentunya. Jadi nyesel gak tau duluan, kalau tau mungkin aku ikutan ke sana. Ada juga yang melaporkan beberapa orang dengan kamera besar2 menunggu momen ini di Bundaran HI untuk menangkap momen ini. Mereka kecele, karena lewat jam 8.30, Bundaran HI masih terang benderang.

Ternyata perayaan ini masih belum sukses. Pihak PLN sendiri masih simpang siur. Sempat rupanya keluar surat edaran untuk memadamkan listrik dari pukul 8.30-9.30. Tapi pada akhirnya ternyata memang tidak dipadamkan. Di Australia sendiri, pemadaman memang dilakukan secara terpusat. Dan momen itu memang sangat menarik, apalagi kalau dilihat dari ketinggian, bagaiman bagian kota satu demi satu menjadi gelap. Bintang pun langsung terlihat karena tidak adanya cahaya lampu. Momen inilah yang menarik. Sayangnya ini belum bisa dilaksanakan di Indonesia. Mungkin tahun depan...

Thursday, March 26, 2009

Pemilu (5)

Memilih adalah hak, bukan kewajiban

Argumen ini bukan untuk membela golput, melainkan membela hak untuk berpolitik. Memilih adalah hak politik, yang merupakan salah satu, BUKAN SATU-SATUNYA hak politik. Hak lainnya adalah hak untuk dipilih, hak untuk berorganisasi dan berkumpul dan juga hak mengeluarkan pendapat.

Tidak memilih tidak selalu berarti apatisme, melainkan bisa berarti sebuah suara yang harus didengarkan, SEBUAH PROTES. Bisa jadi mereka tidak puas terhadap sistem (seperti aku), atau tidak puas dengan calon yang dijajakan (termasuk aku juga). Karena golput bisa menjadi sebuah protes, suarakanlah protes anda. Katakan dengan tegas, kenapa anda TIDAK MEMILIH.

Hal yang paling sering dilupakan orang adalah seolah-olah, hak memilih adalah SATU-SATUNYA hak politik. Argumennya adalah kalau tidak lewat pemilu, bagaimana cara kita mengubah nasib bangsa kita. Memang, secara langsung itulah cara mengubah nasib bangsa secara legal formal. Namun dengan kondisi negara amburadul seperti ini, di saat rakyat sebagian besar tidak rasional untuk memilih, jalan lain bisa ditempuh. Maksud saya disini bukanlah mengadakan kudeta atau revolusi untuk mengubah nasib bangsa. Melainkan mendidik rakyat supaya melek politik dan hak-haknya sebagai warga negara. Jika kita memilih, itu berarti hanya menyumbangkan SATU SUARA. Tapi kalau anda memakai hak politik anda untuk bersuara, bisa mempengaruhi dua, tiga, sepuluh, seratus bahkan sejuta suara. Yang bisa menulis, menulislah. Yang bisa berkoar, berkoarlah. Yang bisa berbuat, berbuatlah (tapi jangan tiru yang hidup adalah perbuatan ya... :p )

Nasib bangsa kita memang tergantung dari kita. Tapi ini bukan berarti memilih adalah satu-satunya cara. Memilih calon yang kita inginkan adalah cara paling langsung dalam demokrasi prosedura. Tapi masih banyak cara lain yang bisa kita lakukan.

Sunday, March 22, 2009

Pemilu (4)

Mencari emas di antara timbal

Kalau dulu kita slogannya adalah memilih kucing dalam karung, karena kita tidak tahu caleg mana yang akan mewakili kita di parlemen karena semua ditentukan oleh partai, maka sekarang adalah mencari emas di antara timbal, karena saking banyaknya pilihan. Sebagai gambaran saja, ada paling tidak 11ribu kandidat DPR RI yang bersaing untuk 688 kursi. Ini sama dengan kurang lebih 1:15.

Ambil contoh saya yang tinggal di daerah Jakarta Timur (DKI 1), saya, untuk calon DPR RI, harus memilih satu di antara 44 partai, atau satu di antara 170 calon! Walah! Apa ini bukan memilih emas di antara timbal. Atau malah memilih timbal yang sedikit berkilau dibandingkan dengan timbal butek lainnya! Ini belum termasuk DPRD DKI dan DPD dari Jakarta. Bayangkan lagi kalau anda tinggal di daerah yang harus memilih DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten. Apakah kita bisa diharapkan dengan sadar memilih wakil kita?

Bagaimana kondisinya kalau kita di negara mbahnya demokrasi, katakanlah Paman Sam. Untuk memilih calon Senat atau Kongres, tiap partai mengirimkan paling banyak 2 calon. Kemudian kemungkinan ada calon dari partai2 kecil seperti Partai Libertarian atau Partai Hijau. Total general kurang dari 10 calon yang muncul di dalam pemilihan. Kalau begini masih ada kemungkinan kita mempertimbangkan mana yang kita pilih tentu saja.

Kondisi real-nya mungkin tidak seburuk yang saya gambarkan di atas. Contoh di daerah asal saya Propinsi Bangka Belitung, praktis yang bertarung adalah dua atau tiga calon saja. Yang lain hanya jadi penggembira. Dua tiga calon yang bertarung umumnya adalah tokoh masyarakat yang sudah dikenal baik track record-nya oleh masyarakat, contohnya caleg DPR RI dari Golkar, mantan Bupati Belitung Timur, Basuki Tjahaya Purnama (Ahok). Masyarakat di sana kalau ditanya mau milih siapa, banyak yang dengan yakin menjawab milih Ahok. (Sekedar tambahan informasi, Ahok adalah seorang Cina, non-Muslim (Kristen Protestan. Bayangkan ia bisa begitu populer di kalangan masyarakat yang mayoritas Melayu dan Muslim. Mungkin ini bisa disetarakan dengan Obama. Mungkin masyarakat Belitung sudah lebih dewasa dalam berdemokrasi ketimbang belahan Indonesia lain).

Tapi kalau di daerah Anda kebetulan tidak ada tokoh yang menonjol, ya pilihnya cap cip cup saja. Mungkin anda milih mantan pejabat atau malah artis. Bayangkan rakyat kita yang akses informasinya masih kurang, siapa yang akan mereka pilih. Saya saja yang punya akses internet broadband kesulitan milih caleg.

Sunday, March 15, 2009

Program Pak Alex, Berobat Gratis di Sumsel

Berbahagialah mereka yang bermukim di Propinsi Sumatra Selatan, karena sejak akhir Januari 2009, mereka sudah dapat menikmati pengobatan gratis. Program ini bernama Jamsoskes (Jaminan Sosial Kesehatan Masyarakat) Sumatera Selatan Semesta. Yang penting adalah kata yang terakhir yaitu "Semesta", artinya universal, alias coverage menyeluruh. Bagaimanakah sesunggguhnya ini terjadi?

Jamsoskes ini, sebenarnya bukanlah berarti menjamin keselurahan penduduk di Sumsel. Lebih tepatnya, ia menutupi bagian yang belum ter-cover oleh asuransi lain, yaitu sekitar 60% penduduk. Yang lainnya yang sudah ter-cover adalah, pegawai negeri oleh ASKES, anggota militer oleh ASABRI, tenaga kerja oleh JAMSOSTEK, dan rakyat miskin oleh ASKESKIN. Kenyataannya justru masyakat yang gak miskin2 amat dan gak kaya2 amat yang tidak terlindungi. Inilah wilayah yang diambil oleh Jamsoskes ini.

Anggaran untuk asuransi ini ditutupi oleh anggaran propinsi sekitar 200 milyar dan anggaran dari kabupaten kotamadya sekitar 80 milyar. Ini baru dari hitung2an anggaran, berapa realisasinya nanti kita belum tahu, apalagi dengan animo masyarakat untuk berobat gratis yang begitu tinggi. Mudah2an sih anggarannya gak jebol.

Di luar anggarannya, ini memang benar2 gratis tis! Syaratnya pun sangat mudah, hanya dengan KTP dan KK, atau surat domisili. Betul2 tidak menyulitkan seperti yang dialami oleh pemegang ASKESKIN. Hanya saja, berobatnya harus berjenjang. Jenjang pertama harus melalui PUSKESMAS, yang bila tidak mampu dirujuk ke rumah sakit kabupaten, yang jika tidak mampu lagi dirujuk ke rumah sakit propinsi, atau malah sampai ke pusat rujukan nasional RSCM. Kenyataannya sudah ada satu pasien dengan kelainan jantung yang dirujuk sampai RSCM sehingga bisa dioperasi di sana plus tiket pesawat ditanggung! Tanpa Jamsoskes ini mungkin nyawa orang itu tidak bisa diselamatkan.

Sang gubernur sendiri Alex Nurdin, melihat bahwa kas daerah memang bisa tekor dengan jaminan kesehatan ini. Namun di lain pihak ia justru melihat di situlah seninya. Ia yang sebelumnya sukses dengan program kesehatan gratis sebagai Bupati Musi Banyuasin, ingin meluaskan sayap program ini sampai ke seluruh Sumatera Selatan. Memang tidak mudah ujarnya untuk meyakinkan seluruh bupati dan DPRD. Katanya jika kita bisa menyediakan program kesehatan gratis karena punya anggaran, nenek2 juga bisa, katanya sambil bergurau. Saat ini ia sendiri sedang berusaha membangun kantor gubernur yang baru tanpa mengambil biaya SEPESER PUN dari kas daerah. Gimana caranya, di situlah tantangannya sebagai seorang gubernur!

Saya pribadi hanya bisa salut untuk sosok seperti beliau. Beliau bukan satu2nya sinar cemerlang di bumi pertiwi ini sejak otonomi daerah. Kita juga mendengar cerita sukses dari Gubernur Gorontalo Fadel Muhamad, Gubernur Sumatera Barat Gamawan Fauzi, Bupati Sragen, Bupati Jembrana, dan Bupati Kutai Timur. Beliau2 ini terus terang memberikan harapan di tengah carut marutnya negeri ini.

Catatan kecil: Gimana Babel, nyesel gak pisah sama Sumsel, jadi gak kebagian kesehatan gratis :p

Sunday, February 22, 2009

Pemilu (3)

Salah satu pertemuan dengan CALEG dari PPP

Baru2 ini aku menghadiri sebuah acara yang dalam "kondisi normal" tidak akan saya hadiri. Mungkin ini juga karena kejadian itu terjadi dalam kesempatan yang "tidak normal". Singkat kata saya hadir dalam pertemuan dengan seorang CALEG DPR-RI dari PPP, DAPIL Jawa Barat VI yang membawahi kora Bekasi dan Depok, dr Syahrizal Syarif. Beliau juga adalah Ketua Badan Pelayanan Kesehatan NU, alias MENTERI KESEHATAN NU. Dalam kondisi normal, saya tidak akan hadir di dalam acara demikian, tapi forum tersebut memang sebuah forum "elite" yang dihadiri kurang dari 20 orang, dan diselenggarakan dalam sebuah format diskusi, yang bukan saja dialogis, tapi akademis. Pertemuan ini diadakan di Cak Tarno Institute, sebuah ajang debat yang kami bentuk di sebuah kios buku milik Cak Tarno, di bilangan UI Depok. Yang hadir di sana adalah dosen berbagai perguruan tinggi termasuk UI dan juga mahasiswa yang sebagian besar mahasiswa S2 atau S3, tapi tidak menutup kemungkinan rakyat jelata juga hadir. Karena forumnya memang forum akademik, yang terjadi bukanlah sebuah kampanye melainkan membedah persoalan bangsa, dalam hal ini adalah masalah kesehatan masyarakat, sesuai dengan bidang dr Syarif. Permasalahannya ternyata sangat pelik dan akan coba saya uraikan secara ringkas.

1. Alokasi dana APBN maupun APBD untuk kesehatan memang sangat kecil, baru mencapai 2.8%, jauh di bawah standar WHO yaitu 15% (angka 15% sebenarnya arbitrer karena, besarnya anggaran kesehatan tentunya tergantung dari berapa APBN total itu sendiri. Biarpun persentasenya kecil, kalau APBN-nya besar, tentunya memadai. Untuk kasus Indonesia, 2.8% memang kecil dan tidak memadai). Ini disebabkan salah satunya karena paradigma pemerintah yang memandang sektor kesehatan sebagai sektor penghabis uang, bukan sebuah sektor untuk investasi SDM masa depan. dr Syahrizal Syarif, tidak macam2 dalam kampanyenya dengan memberikan segepok janji, hanya satu saja, wujudkan 15% anggaran kesehatan. Akibat minimnya anggaran kesehatan, membuat pemerintah memang tidak mampu meng-cover biaya kesehatan.

2. Pembiayaan kesehatan, jika mau ditanggung oleh pemerintah, harus dilakukan dalam skema asuransi kesehatan. Asuransi kesehatan masih problematik di Indonesia, karena pemerintah belum meng-cover seluruh penduduk, baru yang miskin saja, dan itu pun masih problematik. Dalam hal ini memang ada dua mahzab yang bertarung: yang pertama liberal ala Amerika, yang kedua sosial demokrat ala Eropa. Gaya Amerika mengatakan bahwa freedom, berarti free to choose, bebas memilih pengobatan yang ia inginkan. Asumsinya juga adalah persaingan bebas dapat menurunkan biaya pengobatan. Gaya Eropa mengatakan bahwa freedom, berarti free from sickness. Penyelenggaraan kesehatan di take-over oleh negara untuk menjamin itu. Indonesia tidak jelas menganut yang mana.

3. Arus liberalisasi juga merambah dunia kesehatan (yang kita tahu biasanya hanya dalam pendidikan, dengan BHMN). Rumah2 sakit mulai diswastakan. Selama ini pembiayaan rumah sakit pusat dan daerah sebagian besar ditanggung negara, bahkan ada yang sampai 90%. Namun pembiayaan bukan sekedar hanya masalah jumlahnya melainkan juga skemanya. Skemanya adalah begini, pemasukan dari rumah sakit masuk dahulu ke kas negara, kemudian dari kas negara baru dikeluarkan uang untuk pembiayaan rumah sakit. Anggaran pun sering turunnya terlambat dan tidak jelas. Anggaran per tahun bisa turun pada bulan Agustus dan sudah harus diserap sampai akhir tahun anggaran pada bulan Desember! Hanya 4-5 bulan untuk menyerap anggaran? Ribet kan? Hal ini menjadi lebih ribet lagi sejak otonomi daerah dimana rumah sakit menjadi salah satu andalan pemasukan daerah! Parah, sebuah tempat yang semestinya menjadi pelayanan masyarakat menjadi ajang bisnis. Tak aneh kalau biaya kesehatan makin mahal saja.

4. Sementara itu paradigma kesehatan masyarakat sendiri tidak hanya sebatas pengobatan, melainkan termasuk juga pencegahan. Ini belum dipahami oleh sebagian besar pejabat. Jangankan untuk pencegahan, untuk kuratif saja masih keteteran. Sebenarnya pada jaman orde baru pembangunan kesehatan masyarakat lumayan. Di waktu booming minyak 80-an, kelebihan pendapatan negara salah satunya adalah untuk membangun puskesmas. Sayang dari semuanya itu banyak yang sudah tidak operasional baik karena bangunannya sudah rusak atau pun tidak ada dokter. Dokter juga menjadi masalah karena perubahan regulasi. Dulu dokter puskesmas banyak dipenuhi oleh dokter PTT yang bersifat wajib sebelum mendapatkan ijin praktek. Sekarang ketentuan tersebut dicabut, dan menjadi sukarela, di satu pihak karena tekanan dari mahasiswa kedokteran yang males ke daerah dengan alasan HAM (atau apalah), di pihak lain pemerintah memang tidak punya anggaran untuk para dokter PTT ini.

Pusing tidak. Langkah pertama yang cukup feasible untuk diperjuangkan adalah 15% anggaran kesehatan. Di lain pihak adalah juga masalah mekanisme anggaran yang tidak berpihak pada rakyat. Baru kemudian kita bisa bicara universal health care. Mungkin kita masih mimpi untuk bisa sama dengan negara tetangga kita Malaysia, yang kalau berobat jalan bayar 1 ringgit dan rawat inap bayar 3 ringgit, pukul rata untuk semua jenis penyakit!

Tuesday, February 17, 2009

Pemilu (2)

Calon Independen Belum Bisa Maju Pilpress 2009

Akhirnya Mahkamah Konstitusi tidak bisa meluluskan uji materi UU no.42 th.2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan Fadjroer Rahman supaya Presiden bisa maju dari non-partai alias independen. Permohonan ini ditolak dengan skor 5-3, artinya 5 orang menolak, dan 3 orang hakim konstitusi mengajukan dissenting opinion.

Argumen yang dikatakan oleh Mahkamah Konstitusi adalah bahwa Calon Presiden diajukan oleh partai atau gabungan partai sudah jelas dalam UUD 45 dan Amandemen Pasal 6A ayat 2. Dengan demikian MK tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali jika UUD diamandemen terlebih dahulu.

Hal ini memang hal yang pelik. Mau tidak mau harus diakui pasal 6A ayat 2 memang jelas-jelas menyebutkan bahwa pencalonan presiden diajukan oleh partai atau gabungan partai, meskipun ia tidak mengatakan "harus". Tapi di lain pihak ia juga tidak mengatakan kata "dapat" yang tentunya memberikan peluang cara pencalonan lain. Saya pikir sikap MK adalah sebuah sikap yang berhati-hati dan oleh sebab itu saya puji (mengenai sikap MK yang mengulur waktu keputusan untuk calon gubernur independen sehingga Sarwono tidak bisa maju sebagai calon independen gubernur Jakarta, tidak saya puji, ini sebagai catatan).

Sekarang bola berbalik kepada MPR masa mendatang, apakah bisa diharapkan untuk mengadakan amandemen ini. Dari beberapa hasil survei, paling tidak 75% rakyat menginginkan presiden independen.

Kalau MPR-nya tidak memperdulikan suara rakyat? Wah, udah sering tuh. Rakyat gimana yah supaya bisa minta referendum. Saya terus terang gak tau gimana prosedurnya. Bingung deh...

Monday, February 16, 2009

Pemilu (1)

untuk mensukseskan Pemilu, dalam beberapa posting berikut ini akan dipaparkan mengenai pemilu dan permasalahannya, serta wawasan beberapa caleg yang sempat aku ikuti.

Mencoblos sekali, dua kali atau Mencontreng


Pada mulanya keputusan KPU untuk pemilu kali ini adalah mencontreng. Entah mengapa keputusan ini diambil. Mungkin supaya tidak ketinggalan dengan negara lain yang katanya sebagaian besar tidak lagi menggunakan metode mencoblos (ada yang memakai mencontreng, bahkan ada yang lebih maju lagi yaitu secara elektronik). Menurut Yusuf Kala, tinggal Indonesia dan Kamerun yang masih memakai cara mencoblos (lihat Jakarta Post).

Mencontrengnya juga hanya boleh satu kali, bukan dua kali. Yang dimaksud dua kali adalah mencontreng sekali di lambang partai, dan sekali di nama caleg. Namun dari hasil sosialisasi dan ujicoba, masyarakat rupanya sulit untuk memahami ini. Di Jakarta saja, tingkat kesalahannya menurut salah satu studi adalah 24%. Apalagi kalau di daerah.

Untuk itu KPU kemudian mengubah keputusan ini dan membuat mencontreng, sekali atau dua kali, dan mencoblos, satu kali maupun dua kali, adalah sah. Ini keputusan yang melegakan. Dengan demikian kalau rakyat masih mau mencoblos, tentunya masih bisa. Di lain pihak, ini bisa jadi semacam masa transisi sebelum nantinya pemilu selalu dilakukan dengan alat tulis.

Yang mungkin perlu disimak adalah apa pertimbangan pertama kali untuk menghilangkan cara mencoblos. Yang kedua, mengapa hanya mencontreng (bhs inggris: tick) yang diperbolehkan. Bagaimana dengan tanda lain seperti menyilang, atau membulati. Mungkin hal2 seperti ini awalnya tidak terlalu diperhatikan. Untunglah semuanya ini kemudian dianulir. Andai saja dulu dipikirkan matang2 atau diujicobakan dalam skala kecil, tidak perlu ada riuh rendah seperti ini.

Selamat memilih, mau contreng kek, mau coblos, semua halal. Yang haram adalah golput (kata MUI, bukan kata saya).

Wednesday, February 4, 2009

Halal, Haram atau sama saja

Baru-baru ini MUI kembali mengeluarkan fatwa haram. Pertama soal rokok (meskipun haramnya terbatas hanya pada perempuan hamil, anak-anak, di tempat umum, dan untuk para anggota MUI sendiri) dan soal yoga (yang juga terbatas pada yoga yang menggunakan mantra). Tulisan ini tidak akan membahas tentang isi fatwa tersebut melainkan sekedar mau berpusing-pusing tentang halal haram itu sendiri.

Pertama, apakah haram bisa didefisikan secara terbatas, seperti halnya pada rokok dan yoga. Bagaimana kalau haramnya babi juga terbatas, misalnya babi panggang saja. Atau alkohol jenis tertentu saja, misalnya wiski haram tapi bir tidak apa-apa. Atau alkohol haram kalau diminum di siang hari saja.

Bandingkan dengan mencuri misalnya. Mencuri, mau sedikit, mau banyak, mau dilakukan laki-laki, mau dilakukan perempuan, ya haram. Haram berlaku secara universal.
Saya terus terang tidak tahu apakah di dalam fiqih memang ada haram yang sebagian sehingga memang bisa diterapkan secara demikian. Jika ada, saya mau tahu juga bagaimana pertimbangannya.

Kedua, masih ada kaitannya dengan yang pertama. Jika memang dibuat haram terbatas, kenapa tidak dibuat makruh saja, dihindari lebih baik, tapi kalau dilakukan ya tidak berdosa. Ini sekedar usulan saja dalam diskusi, dan saya tidak punya banyak argumen di sini.

Ketiga, apakah halal-haram masih relevan di masa kini. Saya membayangkan bahwa di jaman dulu orang memakai halal haram untuk memajukan atau menghindarkan sesuatu demi kebaikan pribadi maupun masyarakat banyak. Karena sains masih belum banyak berkembang, alasan agama dipakai sebagai pembenaran. Tetapi di saat ini, di saat sains telah berkembang (walaupun masih banyak pertanyaan yang belum bisa dijawab oleh sains), apakah masih diperlukan.
Contoh: apakah kita perlu mengeluarkan fatwa formalin itu haram. Lah semua orang juga tahu kalau makan formalin itu merugikan kesehatan.

Keempat, apakah akal sehat tidak cukup sehingga perlu halal-haram. Misalnya apakah halal atau haram seorang anak mengemudikan trailer. Hal seperti itu bisa diselesaikan dengan akal sehat. (Ini mungkin ada kaitannya dengan haramnya rokok buat anak-anak, yang menurut saya bisa diselesaikan dengan akal sehat, karena orang tua yang punya akal sehat tidak akan mengijinkan anaknya merokok).

Tulisan ini bukanlah tulisan tentang agama, melainkan sekedar berpusing-pusing menggunakan akal sehat saja, selama kita masih punya akal sehat.

Friday, January 23, 2009

Selamat Hari Raya Imlek

Tanggal 26 Januari 2009 nanti semua keturunan Cina di seluruh dunia akan merayakan tahun baru Imlek yang adalah tahun baru menurut penanggalan Cina. Bangsa Cina adalah sebuah bangsa diaspora yang menyebar di seluruh dunia, meskipun mempunyai beberapa pusat di luar daratan Cina seperti di Singapura. Kalau tidak salah beberapa bangsa yang masih keturunan Cina seperti Vietnam juga merayakannya, dengan nama yang berbeda dalam bahasa mereka. (Dalam bahasa Vietnam disebut Tết).

Di Indonesia pun tak ketinggalan. Semua mal sudah latah terlebih dahulu dengan menghias seluruh interior mereka dengan warna merah bernuansa Cina. Memang setelah era pemerintahan Gus Dur, bendungan yang selama ini melarang segala jenis perayaan berbau Cina (dan oleh karena itu dengan logika Orde Baru adalah komunis) dibuka. Sekarang kita bisa melihat Barongsai di mana2. Kong Hu Chu pun sudah bisa dicantumkan di KTP sebagai agama (katanya, saya belum pernah lihat sih). Chinatown seperti di Glodok pun penuh dengan segala jualan khas Imlek seperti kue2 dan juga segala macam hiasan berbau Imlek.

Di satu pihak ini adalah suatu hal yang patut disyukuri. Pemandangan yang khas di hari Imlek memberikan warna warni bagi kehidupan di Indonesia. Perayaan Imlek di Indonesia sekarang bisa menyaingi meriahnya Imlek di Singapura atau pun Malaysia. Di pihak lain, hari raya ini menambah sebuah hari lagi di luar Natal dan Idul Fitri untuk menambah kocek para pebisnis.

For better or worse, toleransi terhadap segala sesuatu yang berbau Cina telah berkembang dengan lebih baik, meskipun toleransi beragama kelihatannya menuju ke arah yang kurang menggembirakan. Indonesia masih akan menempuh jalan yang panjang.

Selamat Hari Raya Imlek untuk merayakan.

Wednesday, January 21, 2009

Vandalisme Caleg Pemilu

Mau tahu siapa vandal yang paling parah di negara ini? Bukan anak punk atau seniman jalanan yang suka corat-coret tembok. Bukan pula para penempel iklan majalah atau event di semua dinding dan halte bisa. Yang paling parah adalah para caleg yang nyampah dimana2, dari spanduk, bendera, stiker, poster, baliho, dll. Semuanya adalah sampah dalam arti memang kotoran, dan juga sampah bagi mata karena mengganggu pemandangan.

Kenapa mereka nyampah? Satu, karena memang belum ada kesadaran dari mereka untuk tidak nyampah. Padahal ada bentuk2 lain dari kampanye yang lebih ok. Lewat internet misalnya. Atau pin yang bisa dipakai dan bukan menjadi sampah.

Tapi kesemuanya ini juga mungkin karena aturan. Coba saja kalau KPU melarang kampanye dengan menempel atau pake spanduk atau bendera. Kan beres urusan sampah. Mereka hanya diperbolehkan kampanye lewat media massa atau iklan secara terbuka. Untuk hal ini mungkin mereka harus mencontoh HIDUP ADALAH PERBUATAN, karena itu jelas tidak nyampah. (Dalam hal ini aku pro dengan Sutrisno Bachir. Di luar itu sih dia emang norak).

Kalau mau dilihat lebih lanjut, bagaimana mungkin mereka akan membuat kebijakan pro lingkungan, sedangkan pas kampanye aja mereka udah nyampah?

Sunday, January 18, 2009

Selamat Datang Banjir Jakarta

Banjir tlah tiba! Banjir tlah tiba!
Hore... hore... hore...!
Singsingkanlah celanamu...
Jangan takut terus maju...
Banjir tlah tiba! Banjir tlah tiba!
Kutetap masuk kerja...

Begitu kira2 kalau Tasya harus nyanyi dengan lagu tema banjir. Banjir telah tiba, seperti sebuah joke yang pernah ada di sebuah papan iklan: BANJIR KOK LANGGANAN. Emang sebulan berapa biaya langganannya.

Banjir sepertinya memang tidak bisa lepas dari ibukota Jakarta, siapa pun gubernurnya. Walaupun aku jadi gubernur Jakarta, tetap saja banjir tetap akan melanda.

Beberapa upaya sudah ditempuh. Misalnya banjir kanal timur yang belum selesai-selesai dari jaman pak harto, pengerukan setengah hati kali ciliwung yang gak tau kenapa berhenti di tengah jalan. Ada juga ide ambisius untuk membuat bendungan di Ciawi untuk membendung kali Ciliwung yang saya tidak tahu bentang alamnya pas atau tidak. Warga yang tinggal di bantaran jadi korban sekaligus dipersalahkan.

Tapi sepertinya banjir masih akan menjadi cerita panjang. Dan curhat ini juga tidak akan bisa menghalangi banjir. Ini memang hanya untuk menguraikan uneg2 saya saja.

Seperti kata Mang Ucle dari Democrazy di MetroTV, penyebab banjir hanya satu yaitu AIR (ya iyalah..., masak iya dong). Banjir terjadi karena volume air yang turun tidak mampu ditampung oleh saluran.
1. Daerah serapan air sudah tidak ada, berevolusi jadi pemukiman. Padahal satu pohon saja mampu menjadi reservoar untuk ratusan ribu liter air hujan. Sebagai efek lain, persediaan air tawar juga berkurang. Ironis memang, di musim hujan kebanyakan air, di musim kemarau kekurangan air.
2. Saluran mampet. Yang dipersalahkan sampah. Emang dulu orang gak buang sampah di sungai? Sama saja sebetulnya. Tapi perbedaannya ada dua. Dulu sampahnya organik sehingga mudah terurui. Sekarang sampahnya adalah botol aqua dan kantong keresek yang tidak terurai. Kedua, volume sampah memang bertambah berkali lipat seiring berlipatnya penduduk di kitaran Jakarta Raya.
3. Pembangunan dengan tata kota yang tidak jelas. Jakarta memang sebuah kota yang dibangun dengan sistem drainase yang tidak jelas. Bukankah air akan selalu turun ke tempat yang paling rendah? Dan disitulah mestinya ada drainase. Nampaknya itu tidak terjadi. Banyak sekali daerah rendah yang tidak memiliki saluran sehingga air menggenang, dan itu di daerah Sudirman Thamrin! Di Jakarta dan juga di kota lain umumnya di Indonesia, saluran air kotor limbah rumah tangga juga langsung masuk ke sungai, dan itu juga memberikan kontribusi volume air di luar air hujan. Belum lagi baunya!

Dengan segala hukum alamnya, banjir pun melanda. Selamat datang banjir Jakarta, dan jangan lupa menyinggahi kami tahun depan.

Thursday, January 15, 2009

Rasis, seksis atau agamis?

Baru-baru ini aku mendapatkan sebuah pengalaman yang sebenarnya mungkin tidak terlalu aneh, tapi kalau dialami sendiri tetap saja rasanya beda.

Ceritanya terjadi sewaktu aku pulang kampung, dan sekalian bersama dengan mertua dan keluarga om istriku, ngajak maen sekaligus promosi wisata :p Keluarga om istriku muslim taat, yang gak bolong shalat lima waktunya, meskipun pas jalan2 mesti dijama dan diqasar.

Pada waktu menjelang magrib, beliau sekeluarga mencari masjid, mengejar ashar sebelum lewat. Berhentilah kami di sebuah masjid dekat kampung halaman saya. Mesjidnya terkunci, tapi tak lama kemudian seorang kakek berjenggot dan bersorban, khas gaya penjaga masjid pun datang dan membuka pintu. Berhubung beliau melihat kami sebagai orang asing, ia menyalami kami semua, jadilah kami ngobrol, khas basa basi orang melayu. Kebetulan ayah dan paman saya yang menyertai rombongan kami cukup dikenal di kampung situ, jadilah sebuah silaturahmi.

Kemudian datang lagi seorang yang lebih muda, bekas teman sekolah saya di kampung, dan dia masih ingat denganku! Jadilah ngobrol lagi dalam bahasa belitung tentu saja. Tak lama kemudian datang lagi seorang kakek2 yang lain yang juga tidak kami kenal, yang bersorban juga. Ia melihat kami ngobrol2 dan juga ikut datang sekedar menghormati. Yang aneh adalah ia tidak menyalami semua orang. Ia menghindari perempuan (yang saya tahu alasannya karena sudah sering melihat) dan juga orang yang berbeda warna kulit dengannya (yang saya juga tahu, tapi hampir tidak pernah melihatnya apalagi mengalaminya).

Ini memang hanya perkara kecil, perkara salaman. Tapi bagaimana konsekuensi dari kejadian kecil ini? Apakah kita bisa bekerja sama dengan sesama di dalam masyarakat kalau menyalaminya saja kita tidak mau? Apakah Indonesia masih bisa disatukan jika kita tidak mau saling menyalami. Apakah beliau bisa saya golongkan rasis (karena memandang lain orang beda ras), seksis (karena menganggap perempuan sebagai makhluk kotor atau penggoda) atau agamis (karena menjalankan ajaran agamanya)?

Saya serahkan ini pada sidang pembaca.